TERIMA KASIH TUHAN YESUS MEMBERKATI!
Mengenakan topi rimba hitam di kepala dan parang yang disarungkan di pinggang, lelaki berusia kepala delapan itu selalu menjemput hari dengan semangat. Setiap pagi, sepasang kakinya yang panjang dan kurus menaklukan gunung-gunung dengan tanpa perlawanan.
Pada tahun 1954, bersama dengan kedua orang tuanya, Stepanus remaja ikut meninggalkan kampung halamannya. Saat itu ia sudah berusia 15 tahun dan sedang duduk di bangku kelas 6 SD. Ujian kelulusan sudah di depan mata ketika keputusan berangkat diambil oleh orang tuanya. Apa boleh buat, Stepanus ikut berangkat meniggalkan sekolah.
Kelas 6 SD itu menjadi kelas terakhir sepanjang hidupnya. Di tempat yang baru, sekolah baru dibuka sampai kelas 3, kelas lainnya masih kosong. Ia memilih berhenti. Bersama orang tua dan saudara-saudaranya yang lain, ia ikut merintis pembukaan kampung dan perkebunan di tempat itu.
Di Bolitan ini, ia mulai membangun kehidupan keluarga. Ia memperistri Marta Sadulia dan mendapatkan anak pertamanya, Paulensius Kadoang, di penghujung tahun 1962. Karena keterbatasan jangkauan layanan Pastoral dari Paroki Sambiut, mereka baru menerima sakramen perkawinan pada tanggal 1 Januari 1966.
Stepanus dan Marta selanjutnya masih dikaruniai 7 orang anak lagi yakni, Demetria, Priamus, Genesius, Marselina, Paulina Yustina, dan Yopianus. Semua anak dari Stepanus dan Marta ini tinggal dan menikah di Bolitan. Ini menjadi sumbangsih pertama Bapak Stepanus. Ia telah mempersembahkan seluruh anaknya dalam persekutuan Gereja Katolik dan menjadi rahmat bagi persekutuan umat di Stasi Bolitan yang sedang bertumbuh.
Untuk mecukupi kebutuhan keluarga, Bapak Stepanus memilih jalan berkebun. Aktifitas membuka hutan rimba dengan alat seadanya dan disulap menjadi lahan perkebunan yang dilakoninya sejak muda mulai menampakan hasil ketika anak-anaknya mulai bertumbuh dewasa. Selain berkebun, Bapak Stepanus juga pintar menganyam. Berbagai jenis keranjang bisa dibuatnya. Keterampilannya ini ikut menambah penghasilannya.
Kini, di usianya yang ke 82 tahun, ia hidup bersama anak dan cucunya. Sang isteri telah berpulang pada tahun 2015 silam. Meskipun demikian, ia masih aktif berjalan ke kebun, naik turun gunung hampir setiap hari. Di kebun, ia biasanya mencari bahan-bahan untuk keperluan anyaman. Tak jarang, ia membawa pikulan yang banyak dan cukup berat ketika pulang. Seakan-akan, tenaganya tak pernah habis.
Salah satu keistimewaan Bapak Stepanus adalah daya ingatnya yang luar biasa. Ungkapan ‘usia tak pernah bohong’ yang bermakna usia tua membuat orang menjadi lemah dan pikun seperti tak berlaku padanya. Sejak puluhan tahun yang lalu, orang-orang mendengar ia bercerita tentang masa lalu. Para pastor, frater atau katekis yang pernah melayani di Bolitan menjadikannya sebagai rujukan utama mengenai sejarah kampung dan stasi.
Tak hanya orang dari luar, sesama perintis kampung yang tersisa sering menyarankan namanya sebagai sumber cerita. Perkataannya konsisten dari tahun ke tahun. Nama orang, hari, tanggal, dan tahun kejadian penting, suasana alam puluhan tahun silam seolah terpahat kuat dalam ingatannya.
Berkat kelebihannya itu, ia menjadi semacam buku harian yang hidup di lingkungannya. Orang-orang bisa mengenang kembali masa lalu atau belajar banyak pengalaman hidup ketika bercakap-cakap dengannya.
Kisah-kisah yang diperdengarkannya bisa membuat orang menyadari sesuatu, termasuk tentang rahmat sang pencipta yang diberikan lewat berbagai talenta yang dimilikinya. Dalam hal ini, ia bagaikan lonceng gereja. Ia mengingatkan kita pada persekutuan dengan Tuhan di tengah-tengah kehidupan yang penuh dengan tantangan dan pergumulan.
Pada suatu sore yang gerimis, 13 Februari 2022, saat akan kembali ke rumah setelah menunjukkan lokasi rumah-rumah pertama yang dibangun di Bolitan kepada anak-anak muda, ia berseloroh: “Jangan lupa saya, kalau ingat lonceng gereja, ingat saya”.
Lonceng gereja satu-satunya yang sejak awal didengungkan dan menjadi tanda dimulainya persekutuan umat dengan Tuhan dalam perayaan-perayaan ekaristi di Stasi Bolitan adalah salah satu hadiah Bapak Stepanus. Lonceng gereja itu adalah salah satu miliknya yang ia persembahkan bagi Tuhan.