TERIMA KASIH TUHAN YESUS MEMBERKATI!
Pada tanggal 1 Oktober 1954, 4 keluarga dengan jumlah 18 orang di bawah pimpinan Bapak Hugo Kadoang berangkat dari kampung Nulion menuju kampung Kendek. Mereka meninggalkan kampungnya untuk mencari tempat penghidupan yang baru. Di tempat baru ini mereka berencana membuka lahan untuk perkebunan.
Di Kendek, mereka menetap selama 17 hari. Dalam waktu singkat itu, dengan bantuan Kepala Desa Kendek dan warga di situ, mereka telah mendapatkan lahan dan membangun pemukiman sementara. Pada hari ke 18, 3 rumah sederhana telah berdiri (tanpa dinding) dan mereka pindah ke tempat baru itu. Tempat pemukiman pertama ini disebut Paisunggalau. Nama Paisunggalau adalah nama perkebunan warga kampung Kendek di wilayah itu. Jaraknya dari kampung Kendek sekitar 1,5 kilo meter.
Hari-hari awal hidup di Paisunggalau mereka manfaatkan untuk memperbaiki pemukiman dan mebuka lahan untuk tanaman pangan. Setelah itu mereka mulai membuka hutan untuk lahan perkebunan tanaman tahunan.
Tahun 1956, 4 keluarga lain dari Nulion menyusul ke Paisunggalau. Mereka kemudian membangun rumah sendiri-sendiri. Di tahun 1959, 1 keluarga baru terbentuk lagi. Sampai tahun 1960, total 9 keluarga hidup di tempat ini. Sebanyak 8 rumah berbaris menghadap jalan, bagian kiri jalan 4 rumah, bagian kanan jalan 4 rumah. 1 keluarga lain masih menumpang di rumah orang tua. Waktu keluarga-keluarga ini sebagian besar diisi dengan kegiatan membuka hutan untuk perkebunan, menanam bahan pangan dan tanaman tahunan serta sesekali membuat papan dan membersihkan kebun orang lain untuk mendapatkan uang.
Selama tinggal di Paisunggalau, mereka beberapa kali mengikuti ibadah minggu di Banggai. Perjalanan ditempuh dengan jalan kaki melewati 8 aliran sungai. Jarak yang ditempuh sekitar 7 kilo meter. Guru Jumat di Banggai saat itu adalah seorang asal Manado bernama Bastian Koyongian.
Pada tahun 1960, musim kemarau panjang mengeringkan sumber mata air di Paisunggalau. Mereka pun berinisiatif untuk mencari tempat baru. Wilayah Bolitan adalah salah satu alternatif karena selain terdapat 2 sumber mata air yang tahan kemarau (Jailuna dan Paisuban), tempat itu juga terhitung dekat dari Paisunggalau. Mereka akhirnya mendapatkan lahan di situ dengan cara membelinya. Perkampungan di Paisunggalau ini, kini telah menjadi lokasi pekuburan Umat Katolik Stasi Bolitan.
Pada Oktober 1960, seluruh keluarga di Paisunggalau telah pindah ke Bolitan. Tak lama setelah mereka menetap di Bolitan, Pastor Giesbert, MSC (Pastor Paroki Sambiut 1960-1966) mendapat kabar tentang adanya umat Katolik di Bolitan. Pastor Giesbert pun menuju ke Bolitan ditemani seorang bernama Holio yang dikenal berasal dari negara Filipina. Misa kemudian dibuat di rumah Kel. Kadoang - Lapeling. Setelah kunjungan Pastor Giesbert itu, muncul inisiatif membuat gedung gereja darurat. Ibadah-ibadah awal umat di kampung Bolitan dipimpin oleh Bapak Simon Petrus Alo.
Saat gedung gereja darurat berdiri, sekitar tahun 1961/1962, Bapak Aloysius Adaiya langsung ditunjuk menjadi Guru Jumat. Gedung gereja darurat yang dibuat ini hanya berlantai tanah dan berdinding bambu yang dicacah (pitate atau tebe-tebe), bertiang kayu bulat dan beratap anyaman daun sagu. Gedung gereja baru ini dipakai hingga rusak dan hampir rubuh.
Hingga tahun 1967/1968, umat Katolik di Bolitan telah bertambah. Beberapa keluarga lain dari Kampung Nulion mulai berdatangan. Sekitar 20-an rumah sudah berdiri memanjang dari jalan raya ke arah dalam (saat ini di bagian WR. 1). Hingga periode tahun ini, beberapa pasang umat melangsungkan perkawinan Katolik di gereja darurat.
Saat gereja darurat itu rusak, umat setempat membangun gereja baru. Kebutuhan pembangunan seperti atap dan papan ditanggungkan kepada setiap keluarga. Papan saat itu hanya dibuat dengan parang. Sekitar tahun 1971/1972, gedung gereja yang baru ini telah berdiri. Bangunan ini sedikit terangkat oleh pondasi dari susunan batu, berlantai tanah kerikil dan bagian altar dicor kasar, beratap anyaman daun sagu dan berdinding papan dengan luas ruangan sekitar 10 x 12 M2.
Pada tahun 1977, Bapak Nilus Talia ditunjuk menjadi Guru Jumat yang baru. Ia menjadi Guru Jumat hingga tahun 1995. Pada periode Bapak Nilus ini, papan-papan gedung gereja telah berlubang. Umat pun semakin bertambah. Mereka berencana membuat gedung gereja baru di tempat yang berbeda dengan lahan yang lebih luas. Gedung gereja baru yang berjarak hanya puluhan meter dari gereja sebelumnya itu akhirnya mulai dibangun. Bahannya kembali ditanggungkan kepada umat. Kali ini, bahannya sudah menggunakan bahan bangunan modern: semen dan seng.
Di tahun 1990, kapal yang ditumpangi Mgr. Yoseph Suwatan, MSC, berlabuh di Desa Kendek. Mgr. dipanggul menuju pantai dan umat menjemput sepanjang jalan. Uskup yang baru ditahbiskan ini datang berkunjung sekaligus mentahbiskan gedung gereja umat Bolitan yang baru. Gedung gereja baru ini berukuran 10x18 M2.
Pada tahun 1995, setelah sekitar 18 tahun, Bapak Hadrianus Rahim menggantikan Bapak Nilus Talia sebagai Guru Jumat. Tetapi karena struktur kepengurusan di Stasi mulai ditata, peran Bapak Hardianus Rahim sebagai Guru Jumat tidak berjalan lama.
Pada tahun 1996, Bapak Silverius Lasea terpilih menjadi Ketua Dewan Stasi yang pertama. Bapak Hardianus Rahim menjabat sebagai sekretaris dan Bapak Edi Kamanda sebagai Seksi Liturgi. Dalam struktur yang baru ini, peran Guru Jumat digantikan oleh Seksi Liturgi, Bapak Edi Kamanda.
Pada tahun 1999, masa kepengurusan Dewan Stasi sebelumnya sudah berakhir. Dewan Stasi yang baru belum dipilih. Pada tahun ini, Bapak Belarminus Talia mulai aktif mengisi kekosongan pimpinan umat. Bapak Hardianus Rahim tetap menjalankan tugas sebagai Sekretaris hingga beliau meninggal pada akhir tahun 2001.
Pada Mei 2000, peristiwa gempa bumi membuat gedung gereja yang baru berusia 10 tahun itu rusak sehingga tidak layak digunakan. Umat kemudian merencanakan pembangunan gedung gereja sementara. Panitia pembangunan diketuai oleh Bapak Belarminus Talia dan sekretarisnya dijabat oleh Bapak Hilarius Bauntal. Segala bahan bangunan yang dibutuhkan untuk pembangunan gedung gereja ini kembali ditanggungkan kepada umat. Pembangunan gedung gereja mulai dikerjakan pada awal tahun 2001.
Pada tahun 2004, Mgr. Yoseph Suwatan, MSC kembali meresmikan gedung gereja umat Stasi Bolitan, meskipun dengan status ‘gereja sementara’. Karena sementara, ukuran bangunannya cenderung kecil, sekitar 8x12 M2. Daya tampung gedung gereja ini dengan cepat tidak lagi memadai bagi umat Bolitan yang kian bertambah.
Setelah mengisi kekosongan sekitar 9 tahun, pada tahun 2007, Bapak Belarminus Talia resmi terpilih menjadi Ketua Dewan Stasi. Kepengurusannya kemudian berlanjut ke periode ke 2 hingga tahun 2017.
Di sela-sela kepengurusan ini, telah direncanakan dan dilaksanakan pembuatan gereja baru yang representatif dengan perkembangan umat. Pada tahun 2013, panitia pembangunan gereja baru dibentuk. Bapak Hilarius Bauntal menjadi ketua, Bapak Finto Masinda menjadi sekretaris dan Bapak Herliko Kadoang menjadi bendahara. Umat bahu membahu mengumpulkan uang untuk kebutuhan pembangunan dan mencurahkan sebagian besar waktu dan tenaganya.
Pada tahun 2017, Bapak Fendrianus Alo terpilih menjadi Ketua Stasi menggantikan Bapak Belarminus Talia. Selanjutnya, Bapak Herliko Kadoang menggantikan Bapak Fendrianus Alo pada tahun 2020. Pada kepengurusan Bapak Herliko Kadoang ini, gedung gereja yang baru akhirnya selesai. Gedung gereja ini diberkati oleh Mgr. Benedictus Estephanus Rolly Untu, MSC, pada Juni 2021. Pelaksanaan pembangunan gedung gereja yang ke 5 di Stasi Bolitan ini memakan waktu hingga kurang lebih 7 tahun.
Pada tahun-tahun ini, berbagai kelompok kategorial aktif menjalankan roda organisasi dengan kegiatannya masing-masing. Kelompok kategorial yang ada di Stasi Bolitan terdiri dari Sekami-Remaja dan Kelompok PPA, OMK, KBK serta WKRI.
Akhirnya, setelah kurang lebih 67 tahun hidup dan bertumbuh, sejak tahun 1954 hanya 4 keluarga dengan 18 umat, umat Stasi Bolitan yang merupakan diaspora dari Umat (Paroki) Nulion kini semakin berkembang. Sampai pada akhir tahun 2021, umat Stasi Bolitan sudah mencapai 100 lebih keluarga dengan jumlah umat sebanyak 329 orang.
Penyusun: Tim Komsos Stasi Bolitan (2022)
STATISTIK 2021