TERIMA KASIH TUHAN YESUS MEMBERKATI!
Spiritualitas Hati
Bagi orang Kristiani, “Spiritualitas” selalu berhubungan dengan “Spirit” yakni Roh Kudus. “Spiritualitas” berarti “cara hidup menurut Roh Kudus”. Spiritualitas Kristiani menjadikan orang sadar mengenai karunia-karunia Roh dalam dirinya yang sebenarnya memperkaya hati setiap manusia (Gal 5: 22 – 23). Roh Kudus memberi manusia kemampuan untuk mencintai kendati afeksi sudah kering, kemampuan mengampuni walau dilanda sakit hati, dan tetap melayani walaupun dikuasai rasa jenuh. Berkat karunia-karunia Roh itu, orang sanggup mengambil keputusan-keputusan penting demi kepentingan sesama, bukan karena terbawa emosi atau pertimbangan dangkal belaka, melainkan karena terdorong oleh daya kekuatan Roh kebijaksanaan dan cinta.
Spiritualitas Kristiani dibentuk oleh iman kepercayaan akan Bapa, Putera, dan Roh Kudus sebagai daya pemersatu dan daya penggerak kehidupan kita. Spiritualitas Kristiani itu seumpama sebuah kapal layar di lautan kehidupan yang berombak. Cinta Allah Bapa, Sang Pencipta, adalah geladak kapal yang menopang kita, supaya tidak tenggelam. Yesus dan kabar baik-Nya berperan sebagai pengemudi yang menuntun kita agar tidak kehilangan arah. Roh Kudus menghembuskan angin yang membentangkan layar, supaya kapal dapat tetap berlayar di lautan kehidupan.
Dalam istilah ‘Spiritualitas Hati’, kata ‘hati’ dipakai dalam arti biblis. Dalam Kitab Suci kata ‘hati’ adalah bahasa symbol yang menunjuk kepada seluruh kepribadian seseorang, menurut segi kehidupan batinnya, yang meliputi hal berpikir, merencanakan, menghendaki, merasa, mencintai. (Itulah kesimpulan dari buku P. Jan Bovenmars MSC, “A Biblical Spirituality of the Heart”. Buku itu sudah diterjemahkan dalam banyak bahasa, termasuk bahasa Mandarin!) Jadi kalau kita berbicara mengenai “Hati Yesus”, kita menunjuk kepada seluruh diri pribadi Yesus, dengan tekanan pada segi batinnya, tetapi bukan hanya pada perasaan cinta atau belaskasihannya. Juga P. Chevalier menemukan dalam ‘Hati Yesus’ bukan hanya cinta sebagai affeksi, melainkan juga cinta sebagai kekuatan, kesetiaan dan ketaatan (“hati yang mendengarkan”).
Sebagaimana digarisbawahi dengan tepat oleh P. Alo, dalam istilah ‘Spiritualitas Hati’, kata ‘hati’ menunjuk baik kepada Hati Yesus, maupun kepada hati kita, dalam arti luas dan kaya sebagaimana dipakai oleh Kitab Suci. Dan itu cocok dengan arti kata ‘hati’ (sebagai symbol) dalam bahasa Indonesia: kalau dikatakan bahwa seseorang mengusahakan sesuatu apa-apa ‘dengan segenap hati’, maka kita langsung mengerti bahwa orang itu menginvestasi dalam usahanya segala tenaga batin yang ada padanya: inteleknya, kehendaknya, perencanaannya, perasaannya, karena apa yang ia mau usahakan dicintai olehnya, artinya timbul dari hatinya sebagai sumber cinta.
Tetapi dalam istilah “Spiritualitas Hati” kata ‘Spiritualitas’ tidak kurang penting. Kata itu menunjuk kepada ‘Spiritus’ atau Roh, yaitu Roh Kudus. Spiritualitas Hati dapat digambarkan sebagai ‘the Way of the Heart, according to the Spirit”: cara hidup menurut hati, yang dibimbing / digerakkan oleh Roh. Tantangan pokok dalam Spiritualitas Hati ialah bagaimana mencocokkan “hati’ dan ‘Roh’.
Disini penjelasan P. Yong membawa terang: bukan segala hal yang timbul dalam hati adalah baik dan luhur. Yulius sudah menyebut perkataan Yesus dalam Lukas 6:5, dan dalam buku saya, saya kutip P. Chevalier yang tentu juga sadar mengenai hati sebagai sumber kejahatan. Lebih rumit lagi kalau kita harus memilih anatara dua hal yang kedua-duanya nampaknya baik dan menarik, dan harus memutuskan apa yang lebih baik dalam situasi konkret tertentu. Kita harus mendengarkan “suara hati” . P. Yong berkata: “Idealnya suara hati memihak pada hati nurani, tetapi suara hati bisa keliru dan menyimpang dari hati nurani.”
Dalam bahasa Spiritualitas dikatakan bahwa kita harus mengadakan ‘discernment’: membeda-bedakan roh-roh untuk menemukan ke arah mana Roh Kudus hendak menggerakkan kita. Roh Kudus berkata-kata dan membimbing melalui “suara hati yang memihak pada hati nurani.”
Maklumlah, hal itu mengandaikan ‘pengenalan diri yang terbina’ (“masuk ke dalam hati” , menurut istilah P. Cuskelly MSC), dan juga pengenalan Diri Yesus sebagai Model. Menurut Spiritualitas Hati, Roh Kudus menunjuk ‘Hati Yesus’ sebagai Model, sebab Roh yang pernah menggerakkan Hati Yesus, sekarang hendak menggerakkan hati kita. Roh Kudus juga berbicara melalui Komunitas (umat Gereja, persaudaaran biara), pimpinan, kaum awam dan melalui ‘the voice of the voiceless’. Karena itu dalam konteks Spiritualitas Hati dikatakan, bahwa dalam kalangan orang dewasa ‘ketaatan’ berarti ‘mengadakan discernment’, dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam hal mengambil suatu keputusan penting.
Spiritualitas Hati dalam arti demikian menjadi Penggerak seluruh hidup pribadi dan bersama, dan terwujud dalam Misi dan karya-karya pelayanan kita.
P. Hans Kwakman MSC
Membaca judul artikel ini bisa membuat kita berpikir dan bertanya. Apakah sebuah penderitaan itu memiliki makna sehingga ada semangat yang bisa dihidupi? Kata spiritualitas itu sendiri sudah menggelitik untuk diolah dan diperdalam, seolah-olah sudah menjadi konsumsi publik seperti harga kacang goreng yang bisa ditempatkan di mana-mana. Secara singkat, bagian pertama dari artikel ini akan memberikan gambaran karakter khas dari sebuah spiritualitas bercorak Katolik hingga tiba pada sebuah pemahaman pada kehidupan sebagai sebuah liturgi yang hidup dan berkenan kepada Allah.
Bagian kedua akan memperdalam mengenai makna derita – penderitaan. Ada begitu banyak pemahaman dan konsep. Dalam tulisan ini akan dilihat dan dikritisi arti penderitaan dari sudut pandang kesehatan.
Kitab Suci sebagai sebuah pedoman dasar kita, akan memberikan pengalaman-pengalaman tentang penderitaan yang direfleksikan dari sudut pandang kita tentang Allah. Bagaimana pergulatan para tokoh dalam Perjanjian Lama dan Baru menghadapi misteri penderitaan ini… bahkan Yesus pun, Putra Allah yang hidup, juga mengalami hal yang sama di atas kayu salib.
Sebagai penutup, akan diilustrasikan tentang tahap-tahap spiritualitas penderitaan yang dilalui oleh dua orang mistikus penderitaan: Chiara Badano dan Concetta Bertolli.
Berbicara tentang spiritualitas, kita bisa belajar memahami maknanya berangkat dari para Bapa Gereja hingga abad VI. Bagi mereka, kehidupan rohani berlindung di dalam bidang kehidupan interior. Pemahaman ini diteruskan oleh para pujangga kehidupan rohani pada abad keemasan Spanyol, seperti St. Theresa dari Avila, St. Ignasius dari Loyola dan St. Yohanes dari Salib. Mereka lebih menitikberatkan lika-liku afektif yang dialami manusia dalam kehidupan interior, terlebih doa.
Tidak mengherankan bila di zaman keemasan ini, mereka banyak memperkenalkan sebuah kehidupan di dalam Roh, sebuah formasi kehidupan rohani dalam bentuk praktek-praktek kesalehan, devosi, latihan rohani, doa dll. Apa yang mereka ajarkan itu berangkat dari praktek hidup sehari-hari dan kembali kepada praktek yang konkrit, atau dari praktek kehidupan jemaat beriman kepada pemahaman yang benar. Maka, ada kesatuan antara praksis dan teori di dalam tulisan-tulisan mereka, tidak sekedar sebuah diskursus teologis yang mengambil bentuk saintifik.
Dengan demikian, kata kunci unuk memahami kata spiritualitas adalah pengalaman religius. Apa artinya? Kita bisa berangkat dari sebuah pengalaman kita sendiri dalam memupuk kehidupan rohani, misalnya dengan berdoa. Kontak yang kita buat dengan realitas transenden, Yang Ilahi, apakah cukup dengan sebuah persepsi afektif? Adakah sesuatu yang obyektif? Ataukah bentuk doa kita itu sekedar merupakan auto-konstruksi psikologis atau sebuah sublimasi naluri di bawah sadar, untuk bertemu dengan Yang Ilahi sesuai dengan konstruksi kesadaran kita? Pertanyaan dan pernyataan semacam ini bisa membawa kita pada sebuah reduksi psikologis tentang jati diri Allah sendiri.
Dalam hal ini, pengalaman religius memiliki obyektivitas dan subyektivitas. Dua hal ini saling bersitegang secara dialektik. Perwahyuan obyektif dan pengalaman tentang subyek tetap merupakan sebuah realitas yang terbuka. Yang Ilahi yang kita imani sudah jelas sebagaimana diwahyukan oleh Yesus Kristus. Namun, untuk memahami yang obyektif ini, tidak bisa ditemukan sebuah metode unik, tunggal yang sanggup untuk merangkul semua perbedaan dan totalitas dari pengalaman iman masing-masing subyek. Bukankah kita semua lahir, dibesarkan dan bersosialisasi dalam konteks budaya yang berbeda-beda strukturnya? Maka, setiap perjumpaan dengan Allah itu menjadi sebuah perjumpaan yang autentik bila ada unsur transformasi diri, yang sering disebut dengan istilah Pertobatan. Kehidupan subyek akan menunjukkan karakter ini bila memang ada sebuah perjumpaan aku (manusia) dan Engkau (Yang Ilahi) secara autentik.
Maka, pengalaman rohani / pengalaman batin / pengalaman spiritual adalah sebuah pengalaman eksistensial, pengalaman bersejarah, progresif, dalam kontras dinamika ketegangan. Kita bisa mengambil dan mempelajari di tangan kita, pengalaman dari para orang kudus. Pergulatan mereka dan kesaksian mereka adalah sebuah contoh, model, dan bukan sebagai hukum universal yang harus dijalankan demikian. Dinamika pengalaman rohani mereka adalah sebuah partisipasi pada sebuah dinamika vital, yang mengarah kepada kepenuhan panggilan umum yang ditujukan kepada kita juga, yaitu dipanggil kepada kekudusan, panggilan kepada kesucian Allah. Di dalam panggilan ini, ada aspek-aspek yang berbeda tentang kekudusan dan di dalamnya, kehidupan rohani mengintegrasikan kehidupan manusia secara penuh dan utuh dalam perjumpaan dengan Allah.
Pendek kata, sebuah spiritualitas Katolik yang autentik itu selalu merujuk pada sebuah cakrawala Perwahyuan yang bercorak uniter di dalam Yesus Kristus, mempelajari pengalaman rohani masing-masing orang dalam konteks konkrit yang dihadapinya, mendeskripsikan perkembangannya serta mempelajari struktur-struktur dinamikanya. Spiritualitas ini menawarkan kesatuan dalam hidup, yang merupakan sebuah terjemahan yang bergulat tentang persoalan dan cara berpikir, bertindak, berdoa dan merayakan budaya kehidupan sehari-hari. Spiritualitas Katolik bukanlah ide, tapi keselarasan hidup dalam perjumpaan dengan Allah, sesama, diri sendiri dan alam semesta. St. Paulus merangkumkan ini kepada jemaat di Roma sebagai sebuah liturgi kehidupan demikian: Karena itu saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan hidupmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati (Rm 12:1)
Kata penderitaan adalah konsep relatif. Lingkup kita dipersempit pada soal kesehatan dan mistik kristiani, berangkat dari pengalaman biblis, liturgis dan spiritual.
Di satu sisi, ada sebuah pengalaman dimana seseorang yang sakit bisa merasakan bahwa semuanya okay. Atau di sisi lain, kita bisa juga bertemu dengan seseorang yang nampak sehat-sehat saja, tapi dirinya sendiri merasa ada saja sesuatu yang tidak beres.
Derita atau penderitaan kerap diasosiasikan dengan kesehatan fisik, penyakit. Konstitusi WHO memberikan sebuah deskripsi tentang kesehatan demikian: Kesehatan adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan kesejahteraan sosial; dan Tidak hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan (Konst. WHO). Kita bisa bertanya, mungkinkah ini terjadi? Gambaran yang diberikan WHO memberikan kesan sebuah situasi ideal yang tidak mungkin terealisasi dalam hidup sepenuhnya. Di sini, dimensi spiritual dan tanggung jawab pribadi seolah-olah tidak nampak.
Ada juga yang memberikan deskripsi tentang kesehatan pada tiga level. Pertama, dari segi fisik, orang yang sehat itu segala struktur fisiknya berfungsi dengan baik. Segala kebutuhan dasarnya bisa dijalankan secara normal. Kedua, dari segi psikis, orang yang tidak sehat bisa merasa bahwa dia sehat. Situasi afektif dan pemahaman pribadi tentang kesehatan yang dialaminyalah yang menentukan baik atau tidaknya seseorang. Pemahaman subyektif pada situasi sendiri semacam ini menjadi sebuah konsep yang amat relatif. Orang bisa merasa sehat, meski organnya sakit berat, karena kriteria subyektif pada penderita. Pemahaman ini mendapat kritikan dari kriteria yang obyektif berupa sistem perawatan kesehatan dari seluruh aspek kehidupan terhadap penyakit. Namun, konsep ini pun kerap berakhir pada pengobatan yang makin berpusat pada organ manusia, daripada manusianya sendiri. Pemutlakan pada sistem kesehatan sebagai sebuah kriteria tunggal pun menjadi sebuah pertanyaan untuk memberikan deskripsi tentang derita dan kesehatan. Ketiga, dari segi spiritual, lebih menekankan soal ada dalam keadaan baik. Deskripsi ketiga ini lebih mengarah pada dimensi spiritual, dalam konteks bahwa manusia menghidupi kehidupannya selaras dengan alam sekitar.
Pada level ketiga ini, konsep kesehatan ada dalam konteks lebih luas dan menciptakan program perencanaan hidup. Ada sebuah visi transendental di mana kehidupan itu lebih daripada kesehatan – penderitaan. Dia berusaha untuk menyadari penderitaan, menerimanya, dan mengolahnya dalam relasi dengan yang transenden. Maka, terbuka peluang sikap dasar lepas bebas (dalam konteks spiritualitas ignasian, Latihan Rohani 23). Contoh yang bisa kita ambil di sini adalah para mistikus. Kerap mereka merasa sehat, meski secara fisik bertentangan, karena mereka memiliki visi yang lebih luas dari keberadaan mereka.
Bagaimana Kitab suci memberikan deskripsi dan pemahaman tentang penyakit dan penderitaan? Perjanjian Lama menyodorkan sebuah mitos tentang dosa. Beberapa teks menggambarkan pemahaman tentang dosa ternyata lebih menarik perhatian daripada beban penderitaan yang harus ditanggung. Kita bisa melihat ini dalam pengalaman dialog Ayub dengan tiga sahabatnya.
Ada semacam trilogi yang mengatur kondisi manusia, yaitu tindakan bebas manusia, keadilan Allah, berkat atau kutuk sebagai efek sampingnya. Yang menjadi pusat perhatian adalah sikap manusia terhadap perjanjian: apakah manusia taat atau memberontak pada perjanjian itu?
Apakah Allah itu bertindak adil dengan memberikan hukuman kepada manusia? Tentang keadilan Allah, Bildad, dalam dialog dengan Ayub, mencoba untuk membela keadilan Allah, tapi mengatakan penilaian yang kurang tepat tentang Ayub. Jika kita mengakui kebenaran Ayub, maka Allah itu tidak adil. Sangat kuat di sini pemahaman logika hukum retributif. Maka, Ayub dibiarkan hidup, agar bisa bertobat dan ini akan mengubah sikap Allah. Namun, tidak selamanya cakrawala ini negatif. Cakrawala retributif ini pun pada kehidupan di masa datang merupakan penghiburan bagi penderitaan orang benar saat ini. Mereka meyakini bahwa Allah bisa berbalik membela mereka terhadap orang-orang yang bertindak jahat dan tidak adil kepada mereka.
Visi uniter tentang Allah, Adonai, yang memberi berkat atau kutuk menjadi kental ketika manusia itu taat atau melanggar perjanjian dengan Allah. Mari coba dibandingkan pengalaman Mzm 61:6 «Terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa, dan melakukan apa yang Engkau anggap jahat». Terhadap visi semacam ini, kita bisa bertanya, apakah doktrin keagamaan menyiksa penderita? Dari pengalaman Ayub, dia hanya mengharapkan belas kasih dari rekan-rekannya, bukan penjelasan religius tentang doktrin keagamaan. Dia sudah banyak menderita meski tidak bersalah. Apakah penderitaannya harus ditambah lagi dengan beban doktrin keagamaan yang mengatakan bahwa kalau orang itu menderita, berarti dia pasti bersalah kepada Allah, sesama dan alam semesta? Kalau dia tidak bersalah, apakah kita harus mencari-cari kesalahan di dalam keluarganya, di dalam diri nenek moyangnya bahwa itu merupakan sebuah dosa turunan? Apakah peneguhan atas derita sebagai akibat dari dosa itu harus dicari dan ditemukan dalam sejarah? Kalau begini, apa yang harus kita katakan tentang Yesus yang wafat di salib seperti para penjahat? Apakah dia juga penjahat yang berdosa? Seolah-olah ada sebuah tuduhan membisu di sini bahwa Allah (yang berdiam diri) bertanggungjawab atas kebahagiaan dan penderitaan manusia yang tidak bersalah. Benarkah demikian?
Persoalan penderitaan masih belum terselesaikan. Ketegangan antara hasrat kuat untuk sembuh dan retorika penebusan itu masih ada. Orang yang mengalami penderitaan, tentu berharap untuk segera sembuh. Bagaimana didamaikan dinamika ini dengan misteri Yesus yang menerima penderitaan sebagai bagian dari sejarahnya? Bagi Yesus pun, penyakit dan penderitaan masih merupakan bagian dari kematian. Melihat pengalaman salib demi pengalaman penderitaan itu sendiri tentu bukan sebuah salib yang menebus. Yesus tidak melihat salib sebagai sebuah tujuan akhir sejarah-Nya, melainkan sebagai sebuah jalan. Ketegangan antara jalan dan tujuan itu bisa digambarkan dengan sebuah cakrawala akan langit dan bumi yang baru sebagai pengharapan akan kehidupan kekal yang membahagiakan, serta doktrin kristiani primitif tentang salib sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan sebagai jalan menuju ke sana.
Pemahaman baru disodorkan oleh Yesus kepada kita. Dia tidak menjelaskan penyebab derita dan tidak menghubungkan derita dengan dosa. Dia justru menempatkan derita dalam karya keselamatan Allah dan mengambil penderitaan sebagai bagian hidup-Nya. Paradoks yang bisa kita lihat adalah di dalam Sabda Bahagia (Mt 5). Berbahagialah orang yang miskin, yaitu orang yang tidak bisa berada di tempatnya sendiri. Berbahagialah orang yang berdukacita dan meneteskan airmata, airmata adalah ungkapan pengampunan, tanda sesal, tanda cinta. Kita bisa melihat airmata dari ibu-ibu muda yang anak-anaknya menjadi martir di Betlehem karena Herodes yang tidak mampu berdiri tegak, tidak peka pada dirinya sendiri, kurang kecakapan kuasai diri dan merasa mulai tersingkir oleh kehadiran Yesus. Kita bisa juga kembali ke kisah aungan di Rama yang dikisahkan oleh Yeremia, karena Rahel menangis untuk semua anaknya dan tidak ingin dihibur lagi. Yesus juga mengangkat sabda Berbahagialah yang lapar, karena mereka akan dikenyangkan; yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajan Sorga. Juga Berbahgialah kamu, jika karena Aku, kamu dicela dan dianiaya.
Yesus membawa pembaruan relasi antara Allah dan bangsa Israel beserta dengan orang-orang yang menderita di sekitarnya. Dosa menjadi sebuah penderitaan ketika cinta diri meningkat sampai menjadi penghinaan terhadap Allah (S. Agustinus, de Civ. 14,28). Inilah yang menjadi beban dan penderitaan para pengikut Kristus.
Bagaimana hal ini menjadi konkrit? Paulus mencoba menjelaskannya dengan dirinya sendiri sebagai model. Sebagai seorang mantan pemburu berdarah dingin bagi para pengikut Kristus, ketika mewartakan Yesus dalam berbagai perjalanan misinya, dia menghadapi budaya kematian di sepanjang jalan yang dia tempuh. Bisa kita lihat pengalamannya di 1Kor 4:10-13, 2Kor 4:8-11, 11:23-29. Ada berbagai litani penderitaan dan tekanan yang dihadapinya seperti terabaikan, kelaparan, haus, kurang tidur, disiksa, dianiaya, telanjang, direndahkan… Kepada jemaat di Korintus dia pun menegaskan bahwa Setiap hari aku berhadapan dengan maut (1Kor 15:31). Seolah-olah bagi Paulus, kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Kristus (Rm 6:4)!
Namun di dalam pengalaman-pengalaman tersebut, dia merenungkan bahwa Kami yang hidup ini terus menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami (2 Kor 4:11). Dengan demikian makin nyatalah bahwa menderita karena Kristus adalah makanan sehari-harinya, karena Bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal 2:20). Demikianlah pengalaman Paulus.
Bagaimana dengan pengalaman ketiga orang yang disalibkan di atas bukit Golgota? Marilah kita meninjaunya dari sisi pengalaman kehidupan rohani.
Di sebelah kiri ada salib yang buram. Nampaknya kurang cahaya, berwarna agak gelap dan diwarnai dengan penolakan yang mendalam atas beban derita itu. Namun, meskipun menderita begitu hebat, salib ini tidak mencari relasi dengan orang yang disalibkan di Tengah. Dia bahkan memusuhi Yesus, meski sama-sama menderita (bahkan Yesus lebih menderita lagi)! Baginya, derita salib ini tidak ada maknanya sama sekali. Hanya kalau turun dari salib, maka dia dibebaskan dari neraka ini. Sayangnya, harapan itu tidak akan pernah terjadi. Kenyataan inilah yang membuat kita pahit, padahal dia dekat sekali dengan Salib Yesus! Maka, kita pun bisa bertanya pada diri kita sendiri, berapa banyak salib yang buram, salib tidak tertebus, salib yang kita tolak ada dalam sejarah kita? Berapa banyak penderitaan dan situasi yang membuat kita memberontak pada Allah? Apakah kita menjadi korban dari nasib yang buta dan tidak mengenali kehadiran Yesus yang ada dekat dengan kita?
Di sebelah kanan ada salib yang bercahaya. Salib ini berwarna cerah karena yang berdiri terpaku di atasnya mengakui pantas dan layak menerima salib itu. Dalam penderitaannya, dia justru sanggup melihat dan menilai penderitaan orang lain: Yesus tidak pantas menerima salib seperti dia! Orang yang terpaku itu, dalam sisa waktu yang dia miliki, mencoba sadar diri dan mencari jalan untuk bertemu Yesus yang tersalib. Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan sebuah lilin untuk menerangi kegelapan. Di depan salib ini, kita harus berhenti lebih lama, untuk melihat dan mempelajari derita-derita kita dalam terang salib Yesus. Berapa lilin yang sudah kita nyalakan untuk menerangi kegelapan penderitaan kita?
Di antara dua salib, ada salib Yesus Kristus. Salib ini ada persis di tengah-tengah. Tidak jauh dari salib buram di sebelah kiri dan salib yang bercahaya di sebelah kanan. Ini mau mengatakan bahwa Di mana ada salib, ada penderitaan, di sana ada Yesus. Tidak diragukan lagi! Di dalam misteri penderitaan Yesus, kita bisa melihat inkorporasi penderitaan manusia dalam misteri penderitaan Anak Manusia.
Sebagai penutup, St. Fransiskus dari Sales pernah berkisah. Di Savoia, ketika para ibu-ibu dan remaja putri menimba air di sumur, mereka meletakkan potongan kayu kecil di permukaan air. Ketika ditanya mengapa, mereka menjawab: supaya air cepat tenang dan tidak banyak tetes-tetes air yang berjatuhan dan terbuang. Salib Yesus adalah potongan kayu itu. Semoga kita mengimani Dia sebagai penjamin, agar kita tetap tenang dalam setiap pencobaan hidup. Jika hatimu galau, letakkanlah Salib, maka engkau akan menemukan damai dan kekuatan.
Apa yang akan digambarkan di sini adalah sebuah pengalaman rohani aktual. Sebuah pengalaman yang merupakan bagian integral dari kisah hidup rohani seseorang. Dia menyadari dengan akal budi dan hati, cinta kasih Allah yang tidak terbatas. Kesadaran inilah yang menuntunnya secara perlahan dalam gerak tunas jagung yang baru tumbuh, sebuah sikap lepas bebas sebagai keterbukaan pada berbagai pilihan Kehendak Allah. Relasi dengan Allah lebih menentukan daripada kondisi fisik yang mereka alami. Bahkan, menerima penderitaan sebagai privilegi kekudusan personal merupakan sebuah anugerah untuk bisa mengidentifikasi dengan Yesus yang menderita. Tentu saja perjalanan rohani tidak pernah akan mulus. Autentisitas sebuah pengalaman rohani bisa dijumpai dalam malam kegelapan rohani. Malam ini bisa menjadi sebuah pertarungan yang hebat antara penderita dengan derita yang dialaminya, hingga dengan bantuan rahmat Allah, dia sanggup untuk berserah: “Ya, Yesusku”.
Mari kita melihat pengalaman para mistikus penderitaan ini, terutama dalam diri Concetta Bertolli dan Chiara Badano. Dengan menceritakan mereka, akan digambarkan pula makna setiap tahap yang mereka lalui.
Concetta Bertolli. dia lahir di Mereto di Tomba 14 April 1908 – 11 Maret 1956. Wafat setelah menderita selama 31 tahun. Mistikus ini menghidupi spiritualitas Fransiskan. Dia berasal dari keluarga miskin dan menggantungkan hidup dari ladang. Pada tahun 1924, usia 16 tahun, dia merasa gejala sakit yang hebat dari kepala sampai kaki. Para dokter memberikan diagnosis artrite nervosa deformante poliarticolare reumatica. Pada tahun 1930, Concetta tidak bisa bergerak sama sekali. Dia masih bisa melihat, mendengar, berbicara meski dengan rahang terkunci. Pada 7 September 1941, dia berkaul tersier dalam keluarga Fransiskan setelah setahun novisiat. Di sini dia merasa dekat dengan St. Fransiskus yang membawa stigmata Kristus. Peziarahan ke Lourdes dia ikuti tahun 1938. Pada waktu itu, dia meminta rahmat agar bisa menerima penyakit ini dengan cinta kasih dan bisa menerima komuni, yang sudah tidak bisa diterimanya selama 4 tahun terakhir. Permohonan dikabulkan oleh seorang imam, yang memasukkan hosti dari liang-liang gigi secara perlahan.
Dia menderita dalam waktu yang cukup panjang, hampir dalam kehampaan karena pendampingan yang tidak cukup, kesulitan ekonomi, kehilangan keluarga dan sahabat. Ayahnya pun meninggal pada November 1948. Kurang lebih setahun kemudian pada malam Natal 24 desember 1949, dengan sangat gembira dia mengikuti perayaan Ekaristi di kamarnya, yang dirayakan oleh P. Ludovico Ferino. Inilah pesta perak pernikahannya dengan penyakit yang dideritanya.
Pada awal tahun, bulan Januari 1956, dia merasa bahwa tahun itu akan meninggal. Maka, di awal Maret, dia meminta sebuah gaun pengantin berwarna putih untuk pemakamannya. Dengan tulang tinggal berbalut kulit, dia menerima Sakramen Perminyakan, kemudian berserah dengan tenang dan memperbaharui persembahan kepada Allah untuk pertobatan para pendosa. Sesaat kemudian, dia meninggal pada 11 Maret 1956, setelah 31 tahun menderita.
Chiara Badano. Mistikus Penderitaan ini menghidupi Spiritualitas Focolare. Lahir di Sassello, 29 Oktober 1971 – 7 Oktober 1990 Provinsi Savona, Italia. Dia adalah anak pertama yang dinanti-nantikan oleh sepasang pasutri setelah 11 tahun pernikahan.
Babak baru dalam hidupnya mulai dengan diagnose kesehatannya. Dia menderita osteosarcoma. Tumor ganas pada tulang. Perlu dipelajari betul tahap ini, karena penyakit yang dideritanya membangun jalan menuju kekudusan. Tanggal 28 Februari dioperasi di RS. Molinette di Torino, tanpa hasil. Penderitaan fisiknya disertai pula dengan rasa rendah diri. Dia orangnya sangat sensitif dan bersih, harus menerima kateter bersama dengan pelayanan yang lain… dia sendiri belum siap pada usia semuda itu.
Pada bulan Januari 1990 ditempatkan kateter spinale untuk mencoba mengurangi rasa sakit, disertai juga dengan morfin. Beberapa hari kemudian, dia meminta untuk tidak lagi diberi penenang, pengurang rasa sakit, morfin dan sejenisnya, dan ingin tetap sadar. Maka, bersama dengan orangtua diputuskan pada tanggal 22 Juni, untuk menghentikan chemioterapia dan tinggal di rumah.
Chiara Badano menulis kepada Chiara Lubich, pendiri gerakan Focolarini untuk memberitahu situasi dan keputusan yang diambilnya: saya menghentikan siklus chemioterapia karena tidak menghasilkan perbaikan apa-apa, tidak ada hasil apa-apa! Kemampuan pengobatan sudah menyerah, sudah tidak mampu lagi. Hanya Tuhan yang mampu. Dengan penghentian ini, rasa sakit di punggung makin bertambah, dan tidak mampu lagi saya berguling ke kanan / kiri di tempat tidur.
Menjelang kematiannya, Chiara sadar dan tanpa kehilangan ketenangan, meminta pada ibunya untuk mempersiapkan gaun pengantin di awal Oktober 1990. Chiara menginginkan gaun pengantin berwarna putih, sederhana, panjang. Dia meminta agar ibunya memandikan dia dan mengatur rambutnya sebelum mengenakan gaun itu. Dia ingin bergaun putih karena kematian berarti bersatu dengan Yesus, mempelainya, yang ingin dia songsong dengan gaun pengantin.
Kata-katanya yang terakhir: Mamma, ciao. Sii felice, perché io lo sono (Salam, ibu, berbahagialah, karena saya sangat berbahagia). Chiara meninggal pukul 04.10 tanggal 7 Oktober 1990. Dua puluh empat jam setelah itu, sesuai dengan permintaan Chiara, para medis mengambil kornea matanya untuk diberikan kepada dua anak muda dengan hasil positif.
Isi dari pengalaman mistik adalah pemahaman intuitif tentang kebenaran teologis, bahwa meski apapun yang terjadi …, Allah tetap mencintai manusia dan besertanya sampai akhir zaman. Jiwa mistik mengulang bersama Paulus: Dia telah mencintaiku dan memberikan diri-Nya bagiku (bdk. Gal 2:20). Maka, di sini kita melihat sisi transformatif yang muncul, yaitu kehidupan adalah rahmat dari Allah, sesama adalah rahmat. Begitu juga alam, kesehatan, persaudaraan… juga penderitaan!
Concetta Bertolli. Concetta beriman sederhana dan kuat, yakin teguh bahwa Allah mencintainya dan memberikan yang terbaik. Inilah kekuatannya untuk menerima derita, yang dipandangnya sebagai rahmat cinta kasih Allah. Dia mengatakan:Aku tidak akan mau digantikan oleh siapapun. Aku bahagia dengan situasiku sekarang. Dia seringkali mengulang hal itu dan dengan tulus mengatakan: Aku baik-baik saja di tempat tidur ini. Allah mempercayakan kepada setiap orang sebuah misi dan Dia memberikan kepadaku ini. Aku bahagia.
Chiara Badano menghidupi sebuah spiritualitas mistik berdasar pada pengalaman cinta kasih Allah yang tidak terbatas. “Allah mencintaiku dengan tiada terkira!”Tidak ada sesuatupun yang keluar untuk menggoyahkan keyakinan ini, meski dia menanggung kekecewaan, kepahitan, terapi yang memusingkan dan tiada henti. Meski ini semua, keyakinannya tidak goyah: «Dengan ini juga, Allah sungguh-sungguh mencintaiku».
Dari kedua tokoh ini, kita bisa melihat bahwa masing-masing menyadari penderitaannya – seperti salib yang tidak terelakkan – sebagai bentuk cinta Allah.
Isi tema pokok spiritualitas mistik penderitaan adalah mencari kehendak Allah dalam segala hal dan segala situasi. Dalam konteks ini, derita menjadi sebuah kemungkinan. Maka, di tahap kedua ini mulai ketika penderita berserah pada kehendak Allah, meski dia tidak memahami rencana-Nya, meski subyek kemanusiaan penderita sendiri memberontak.
Concetta Bertolli berjuang sangat keras untuk memahami misteri penderitaan yang dibawanya. Pada periode pertama, dia tidak menemukan jawaban sekecilpun dari penderitaannya. Dia tidak memahami mengapa penyakit ini dan mengapa benar-benar harus dia.Menerima penyakit dan penderitaan bukanlah sebuah proses yang mudah dan cepat. Secara alamiah, jiwa memberontak, akal budi memberondong berbagai pertanyaan. Sementara teman-temannya pergi bekerja setiap pagi, para tetangga tertawa bercanda, bergembira, para sahabat bermain… dia, pada usia 20 tahun dengan mimpi seorang anak muda, harus terpaku di tempat tidur, tidak mampu untuk duduk… karena sakit yang tiada taranya.
Mengapa? Dia tidak memiliki sebuah keberanian untuk berani menerima. Hari terus berganti, bulan berganti bulan… perlahan-lahan Concetta memahami…. bahwa Salib yang dipanggulnya itu, memberikan terang, dengan menyingkap tujuan dan maksud penderitaan manusia. Pada akhirnya, menunduk dan menerima penderitaan ini sebagai bagian dari dirinya. Perlahan, namun dengan kemajuan yang pasti, Concetta merasakan kebahagiaan dalam situasi yang dihadapinya itu. Dia mengaku, tidak akan mau digantikan tempatnya oleh siapapun! Dia mengatakan: “Penderitaan, tanpa kepasrahan diri… itu amat mengerikan; tetapi, jika ada penyerahan diri ini, penderitaan itu tidak ada apa-apanya”.
Chiara Badano. Selama masa sakitnya, dia selalu mengulangi: “Yesus, jika Engkau menginginkan hal ini, tentu aku juga!”Kepada ibunya dia mengatakan: “Bagiku, yang paling penting adalah mengikuti kehendak Allah. Cukup menjalankannya dengan baik, maka kita akan tetap bersama Allah. Kerap kali orang datang dan mengajak dia meminta mukjizat, tetapi dia menjawab: “Tidak! Jika Bunda Maria mau membuat mukjizat untukku, dia bisa membuatnya di sini, sekarang dan tidak harus pergi berziarah ke Lourdes”.«Banyak orang mengajak saya untuk meminta mukjizat. Saya menginginkannya, tetapi saya merasa itu bukanlah Kehendak Allah. Saya tidak meminta kepada Yesus untuk dibawa ke surga secepatnya, karena itu menunjukkan kalau saya enggan menderita. Hanya dia yang tahu kapan saya harus berangkat».
Isi di tahap ketiga dari peziarahan spiritual ini ditandai dengan penerimaan penyakit dan penderitaan seturut dengan pemahaman Yesus: Ya Bapa, jika Engkau berkenan, jauhkanlah dari padaku piala ini. Tetapi, bukan kehendakku, melainkan kehendakmulah yang terjadi (Luk 22,42).
Concetta Bertolli menderita selama 31 tahun: 26 tahun tidak bergerak dan 6 bulan terakhir mengalami kebutaan total. Untuk memahami keutamaanya yang besar, perlu melihat juga karakter keaktifan Concetta yang sangat mencintai dansa dan tarian. Dia selalu gembira dan suka sekali tersenyum dan bersendau gurau. Dari ini, mulailah karya misinya. Sejak sekitar 1935, dia tidak lagi meminta dalam doa untuk disembuhkan, karena dia sudah menyerahkan hidupnya seluruhnya kepada Allah.
Dia melihat penyakit yang dideritanya, mengucap syukur kepada Allah dan merasakan itu sebagai sebuah rahmat. Dia berterimakasih selalu kepada Allah yang telah memilihnya untuk mengalami penyakit ini dan menderita karenanya, dalam kerinduan untuk makin dimurnikan dan bisa bekerja sama melalui penerimaan penderitaan ini, demi keselamatan jiwa-jiwa.
Chiara Badano. Ada sebuah komentar cukup menarik dari sahabat Chiara, yang membantu kita untuk memberi definisi pada spiritualitas penderitaan: «Chiara tidak menanggung penderitaan, melainkan membawanya». Tidak pernah terdengar satu keluhan atau rasa lelah. Dia juga tidak menggerutu: «Aku sudah tidak kuat lagi». Nampak bahwa badan yang menderita itu, seolah-olah berada di luar dirinya. Derita itu tidak menghalanginya untuk mencintai Allah, melainkan sebagai sebuah sarana khusus yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Saat ini penyakit menjadi jalan khusus bagi spiritualitas mistik penderitaan. Penyakit tidak lagi memiliki kekuasaan apapun pada pribadi penderita. Jiwanya melihat penderitaan sebagai bentuk partisipasi di dalam penderitaan Yesus Kristus.
Concetta Bertolli mempersembahkan kepada Allah penderitaannya. Dia menderita bagi kaum miskin dan pendosa, agar bertobat dan merubah hidupnya, bagi para imam agar menjadi lebih kudus, bagi para misionaris, agar mereka makin mengembangkan Kerajaan Allah. Seorang misionaris Xaverian (S.X.), yang sedang berlibur dari Afrika, setelah 20 tahunan berkarya di sana, dalam sebuah kunjungan kepada Concetta, menganjurkan dia agar meminta rahmat penyembuhan dari Allah, agar bisa berangkat sebagai misionaris. Terpaku pada ranjang, Concetta menjawab: « Pastor, saya adalah misionaris penderitaan!»
Chiara Badano melihat penderitaan sebagai jalan menuju pertumbuhan rohani. Cinta kepada Salib menghantarnya pada penyerahan diri, pengosongan diri sendiri. Dia menolak morfin, dan mengatakan: “Saya bisa menderita demi Yesus”. Dalam penyerahan diri itu, dia mempersembahkan kehidupannya bagi kaum muda, keuskupan, bagi yang jauh, bagi kelompok focolarini dan bagi karya misi.
Dia selalu tenang dan teguh, karena yakin bahwa «penderitaan yang dipeluk dengan kasih membuat kita bebas».«Setiap jarum suntik yang masuk itu serupa dengan duri-duri yang menusuk kepala Yesus. Setiap tetes darah itu mirip dengan efek dari paku bekas yang dipakai untuk menyalibkan Yesus. Setiap flebo yang masuk lewat jarum itu mirip pukulan palu para serdadu, yang diiringi pesan: Untukmu».
Karena penderitaan adalah misteri, meski penderita menerima dengan sadar, ada saat-saat kritis dan kegelapan rohani. Makna rohani dari pengalaman kegelapan rohani adalah kehampaan. Ini lahir dari pemahaman intuitif tentang kebenaran teologis, bahwa manusia –karena dosa asal– terpisah dari Allah. Peran positif pengalaman ini adalah pembenaman dalam pertanyaan mendasar: di manakah keselamatanku? Hasil positif dari pencarian ini adalah manusia yang rendah hati, yang di satu sisi melihat keterbatasan dari keberadaannya sebagai ciptaan, di sisi lain, dia memahami bahwa keselamatan datang dari Allah saja.
Concetta Bertolli adalah orang berkarakter terbuka, ramah, baik hati… dia sendiri mengatakan, kalau tidak menderita seperti ini, dia akan menjadi seorang pendosa! Meskipun sakitnya parah, ada sebuah kontras amat menakjubkan, sabuah jiwa yang penuh dengan kehidupan, ada di dalam sebuah badan yang terdeformasi, tidak indah dipandang, buruk rupa…
Karakter ini menjelaskan mengapa Concetta terus memberontak pada bulan-bulan pertama. Ketika muncul penyakit itu, dia berteriak: «Aku ingin bunuh diri!». Tapi, dia tidak memiliki keberanian untuk membenturkan kepala di dinding, karena ketidakmampuannya bergerak. Maka, dengan keyakinan yang dibangun dengan perlahan dan pasti, dia menerima penyakit ini dan mempersembahkannya bagi para pendosa, imam dan misionaris.
Chiara Badano mengalami kegelapan ini melalui pencobaan dari iblis. Selain derita fisik, di masa akhir hidupnya, dia harus menghadapi serangan iblis yang mencoba meruntuhkannya. Dia selalu mengundang ibunya yang menemuinya selalu dalam keadaan berkeringat, wajah pucat dan gentar. Chiara mengatakan bahwa iblis mencoba membenamkannya ke bawah dan dia merasa betul-betul dibenamkan. Maka dia meminta ibunya untuk tinggal dekat dengannya. Ibunya pun mengatakan «engkau memiliki Yesus yang lebih kuat dari iblis».
Tahap akhir dari peziarahan mistik adalah identifikasi dengan wajah khusus Yesus Kristus. Keyakinan ini memperteguh iman dan pengharapannya. Penderita tahu bahwa dia bisa mempersatukan penderitaannya dengan penderitaan Yesus. Dengan cara demikian, dia turut berpartisipasi pada penebusan dunia. Sikap penebusan dapat muncul dalam berbagai bentuk: oblatif, unitiv, partisipatif, altruistik, pengorbanan, penitensi, perbaikan, perantara, dan seterusnya.
Wajah Yesus bagi Concetta adalah Yesus yang tersalib. Dengan memandang salib, dia kerap mengatakan «aku itu seperti Dia, tapi dalam posisi yang berbeda. Dia dalam bentuk T, aku dalam bentuk Z, maka aku yang terakhir».Sikap batin Concetta di hadapan sakit dan penderitaannya berkarakter kristosentris. «Dia menunjukkan iman yang teguh pada Allah. Baginya, Allah adalah semuanya! Dari mulutnya selalu keluar kata «Allahku, ya Allahku».
Wajah Yesus bagi Chiara adalah «Yesus yang terlantar». Mons. L. Martino, kerap mengunjungi Chiara menyatakan: «Chiara menggarisbawahi hal yang esensial di dalam tradisi kristiani: Cinta kasih Allah dan karya keselamatannya, sentralitas Yesus Kristus, kesetiaan kepada kehendak Allah sebagai aturan hidup, primasi cintakasih di dalam kehidupan moral dan persembahan diri yang berlimpah».
Titik pijak spiritualitas penderitaan adalah keyakinan teguh akan cinta kasih Allah yang tidak terbatas. Bahwa Allah sungguh-sungguh mengasihiku! Yang lain-lain adalah jawaban. Paulus menawarkan sebuah paradigma berpikir mendasar: «Aku hidup dalam iman akan Putra Allah yang mengasihiku dan memberikan hidupnya bagiku». «Siapakah yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus?»Apa untungnya berbagi penderitaan dengan Kristus yang bersengsara dan terabaikan?
Paradigma ini membuka kemungkinan untuk memberikan makna pada derita: «setiap waktu adalah berharga. Jika waktu dihidupi demikian, maka segala sesuatu bermakna dan bernilai… Juga pada saat-saat kritis, jika dipersembahkan kepada Yesus Kristus. Maka, derita tidak diabaikan begitu saja, namun memperoleh maknanya bila dipersembahkan kepada Yesus Kristus. Ada sebuah perubahan sikap manusia terhadap badan, kesehatan, penyakit, penderitaan dan kematian bisa ditinjau kembali. Tidak ada sikap negatif terhadap badan dan kesehatan. Tidak ada satupun dari orang sakit dan menderita, yang mencari dan memohon penyakit ini, tetapi mereka menerima, ketika tidak dapat dihindari. Penyakit ini bukan konsekuensi pengalaman mistik, tapi masuk terlebih dahulu. Di dalam penderitaan itulah para mistikus ini mencari makna dan menemukan artinya di dalam Yesus Kristus. Ada dialog antara penyakit dan spiritualitas mistik. Dialog itu terwujud dengan membangkitkan pertanyaan baru dan tantangan baru.
Spiritualitas mistik penderitaan memberikan makna baru pada penyakit. Sikap para mistikus penderitaan dalam relasi dengan penyakit adalah bahwa mereka tidak menanggung beban, tapi membawa penyakit itu bersama dengan kehidupannya. Perbedaan ada pada disposisi batin, di mana mereka menemukan makna penyakitnya dalam kehendak Allah.
Oleh : P. Alfonsus Widhi, SX
Jika anda sudah menikah dan punya anak-anak kecil, anda pasti dapat memahami perasaan indah yang tak terlukiskan ini: Anak anda menghampiri anda, tanpa rengekan, tanpa tangisan, memeluk dan mencium anda. Anda akan merasakan kasih yang begitu dekat yang mempersatukan anda berdua. Jika suatu hari anda mengalami hal ini, entah dengan anak anda, keponakan atau cucu anda, bayangkanlah bahwa Tuhan sengaja memberikan pengalaman tersebut, supaya anda dapat sedikit membayangkan bagaimana perasaan Tuhan jika anda datang kepada-Nya seperti anak kecil itu. Hati-Nya melimpah dengan kasih dan suka cita, karena memang Dia selalu menantikan kesempatan ini; yaitu membawa anda ke dalam dekapan-Nya untuk bersatu dengan Dia. Oleh kuasa Roh Kudus, dekapan ini mempersatukan kita dengan Allah sendiri, seperti yang terjadi di dalam Ekaristi, saat Ia, Sang Ilahi, merendahkan diri untuk merangkul dan mengangkat kita, manusia yang dari ‘debu’ ini, agar kita beroleh hidup ilahi. Kita manusia yang berdosa tidak dapat, oleh usaha sendiri, menjadi kudus, kalau bukan Allah sendiri yang menguduskan kita.
Ekaristi adalah sumber dan puncak Spiritualitas Kristiani. Pertumbuhan Spiritualitas Kristiani yang bergerak ke arah ‘persatuan yang semakin erat dengan Kristus’ (KGK 2014) akan mencapai puncaknya pada Ekaristi yang adalah Kristus sendiri. Kristus hadir di dalam Ekaristi, sesuai dengan janji-Nya pada saat meninggalkan warisan Ekaristi pada Perjamuan Terakhir sebelum sengsara-Nya. Ekaristi diberikan sebagai kurban Tubuh dan Darah-Nya, agar dengan mengambil bagian di dalamnya, kita dapat bersatu dengan-Nya dan menjadi satu Tubuh (lih. KGK 1329). Jadi, Ekaristi merupakan Perjanjian Baru dan Kekal yang menjadi dasar pembentukan Umat pilihan yang baru, yaitu Gereja. ((Lih. Joseph Cardinal Ratzinger, Called to Communion, (San Francisco, USA: Ignatius Press 1996), p.28, “The institution of the most holy Eucharist… is the making of a covenant and as such, is the concrete foundation of the new people: the people comes into being through its covenant relation to God .”)) Di dalam Ekaristi kita melihat cerminan liturgi surgawi dan kehidupan kekal di mana Allah meraja di dalam semua (lih. KGK 1326). Dengan menerima Ekaristi, kita dipersatukan dengan Kristus dan melalui Dia, kepada Allah Tritunggal, sebab Ekaristi adalah kenangan kurban Yesus dalam ucapan syukur kepada Allah Bapa, oleh kuasa Roh Kudus (lih. KGK 1358). Jadi dengan menerima Ekaristi, Tuhan tidak saja hanya hadir, tetapi ‘tinggal’ di dalam kita sehingga kita mengambil bagian di dalam kehidupan Ilahi, kehidupan yang memberikan kita kekuatan untuk mencapai kesempurnaan kasih yang diajarkan oleh spiritualitas Kristiani, yaitu ‘mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama’.
Spiritualitas secara umum adalah jalan untuk memahami keberadaan dan kehidupan manusia yang berkaitan dengan pencarian nilai-nilai luhur untuk mencapai tujuan hidupnya. ((Lih. Michael Downey, Understanding Christian Spirituality, (New Jersey, USA: Paulist Press, 1997), p.14)) Di dalam agama Kristiani, ‘jalan’ tersebut bukanlah berupa peraturan- peraturan, tetapi berupa ‘Seseorang‘. Dan ‘Seseorang’ ini adalah Yesus Kristus, yaitu Allah yang menjelma menjadi manusia. Dengan kata lain, Spiritualitas Kristiani tidak diawali dengan ide gambaran tentang Allah, melainkan di dalam iman akan Sabda Allah yang menjadi manusia (Yoh 1:14), yaitu Yesus Kristus. Kristuslah pemenuhan Rencana Keselamatan yang dijanjikan Allah. Karena itu, kehidupan Spiritualitas Kristiani berpusat pada Kristus.
Kristuslah perwujudan Spiritualitas Kristiani, sehingga sangat wajar jika kita ingin bertumbuh secara spiritual, kita harus mengambil bagian di dalam ‘Misteri Kristus’, sehingga kehidupan spiritual kita merupakan bagian dari kehidupan yang Yesus miliki bersama dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Dengan demikian kita diangkat menjadi anak-anak Allah. ((Jordan Aumann, Christian Spirituality in the Catholic Tradition, (USA: Ignatius Press, 1985), p.9 and p.11 “…. Christ is, therefore, the embodiment of authentic spirituality and quite logically, from our point of view the spiritual life must be a participation in the ‘mystery of Christ.’ …..This does not mean, however that we should consider the spiritual life as Christ-centered to such an extent that we should fail to give emphasis to God the Father, God the Holy Spirit,….. but it is only by means of the mystery of God that we can believe fully in the mystery of the Incarnation and, therefore, can understand Jesus Christ…..Consequently, to participate in the mystery of Christ means to share in the selfsame life which animated the God-man, the life which the incarnate Word shares with the Father and the Holy Spirit; and through this life, man is regenerated and elevated to the supernatural order.”)) Keikutsertaan kita di dalam Misteri Kristus dinyatakan jika kita berpartisipasi di dalam Misteri Paska Kristus -yaitu sengsara, wafat, kebangkitan dan Kenaikan-Nya ke surga. ((Lih. Sacrosanctum Concilium 5, (Dokumen Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci)) Misteri Paska ini dihadirkan di dalam liturgi Gereja Katolik (lih. KGK 1085).
Tuhan adalah Kasih (1 Yoh 4:16) dan belas kasih adalah sifat Allah yang terbesar. Dalam belas kasih-Nya Allah ingin mengembalikan hubungan kasihNya dengan manusia yang telah dirusak oleh dosa. Untuk itulah Kristus datang ke dunia, untuk menyatakan belas kasihan Tuhan yang terbesar melalui Misteri Paska-Nya, yang menjadi bukti kasih Tuhan pada manusia yang lebih kuat dari pada dosa dan maut. Allah tidak menyayangkan Yesus Putera-Nya sendiri untuk menyelamatkan kita (Rom 8:32), para pendosa. Jadi, alasan Kristus untuk datang ke dunia adalah untuk wafat bagi kita; dan karena itu layaklah jika Ia mewariskan kenangan wafat-Nya itu, yang menjadi Perjanjian Baru dan Kekal antara kita manusia dengan Tuhan.
Di sini ‘perjanjian’ atau ‘covenant/ convenire (Latin)’ memiliki arti yang lebih dalam daripada sekedar kontrak. Perjanjian ini tidak menandai pertukaran harta milik, tetapi pemberian diri dalam relasi kasih, yang berlaku untuk selamanya. ((Lih. Scott Hahn, A Father Who Keeps His Promises, (Ann Arbor, Michigan, USA: Servant Publications, 1998), p. 24. “What is exactly a covenant? It comes from the Latin word ‘convenire’, which means ‘to come together’ or to agree; the English term ‘covenant’ involves a formal, solemn and binding pact between two or more parties. Juga Robert A Sungenis, Not by Bread Alone, (California, USA: Queenship Publication, 2000), p.11-12.)) Sejak kejatuhan Adam sampai kedatangan Kristus, Allah telah membuat perjanjian dengan bangsa Israel (‘the People of God’) melalui para bapa bangsa dan para nabi. Perjanjian ini (disebut Perjanjian Lama) ditandai dengan kurban penyembahan terhadap Tuhan dan kurban penebus dosa (Im 9:23) yang dipersembahkan melalui para imam (Kel 10:25-26). Melalui kurban ini, manusia diampuni dan dimampukan kembali untuk mengasihi Allah. Kurban inilah yang diteruskan oleh Gereja (‘the New People of God’) sebagai Perjanjian Baru dan Kekal di dalam Ekaristi -yang menjadi tebusan dosa manusia sampai akhir jaman. Ekaristi menjadi tanda belas kasihan Allah yang dinyatakan kepada Gereja dan melalui Gereja kepada segenap umat manusia.
Karena Misteri Paska merupakan hal yang terutama dalam Rencana Keselamatan Allah, maka Ekaristi yang menghadirkan Misteri Paska ini menjadi hal yang terutama dalam Gereja. Di dalam liturgi, Misteri Paska dihadirkan kembali karena jasa kebangkitan Kristus dan kuasa Roh Kudus. Di dalam liturgi, terutama Ekaristi, rahmat dicurahkan untuk pengudusan kita dan kemuliaan Tuhan, ((Lih. Sacrosanctum Concilium 10)) yang keduanya merupakan tujuan kehidupan spiritual kita. Jadi keikutsertaan kita di dalam liturgi, terutama dalam Ekaristi, adalah sesuatu yang sangat penting untuk pertumbuhan rohani kita, karena di dalam Ekaristi kita menerima rahmat pengudusan yang membuat kita mampu mencapai kepenuhan hidup, oleh karena kita dapat masuk dalam hubungan kasih yang mendalam dengan Allah.
Di dalam kurban Ekaristi, para anggota Gereja menyatukan diri mereka dengan Kristus, Sang Kepala, untuk mempersembahkan pujian dan syukur kepada Allah Bapa. Di sini Kristus menjadi sekaligus Imam dan Kurban. Kata “Ekaristi” sendiri berarti ‘ucapan terima kasih kepada Allah’ (Lih. KGK 1328), dan sesungguhnya adalah doa Yesus Kristus kepada Allah Bapa. Keikutsertaan kita dalam doa Yesus yang disampaikan kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus adalah liturgi, (lih. KGK 1073) sehingga liturgi adalah suatu tindakan Yesus sebagai Kepala dan Gereja sebagai TubuhNya. ((Lih. Sacrosanctum Concilium 7.)) Yesus yang sungguh hadir di dalam liturgi Ekaristi, mengubah roti dan anggur oleh kuasa Roh Kudus menjadi Tubuh dan DarahNya, melalui perkataan-Nya yang diucapkan oleh imam, “Inilah TubuhKu, yang diberikan bagi-Mu…Inilah DarahKu yang ditumpahkan bagimu (Mat 26:26-28; Mrk 14:22-24; Lk 22:19-20).
Dengan mengambil bagian di dalam doa ini, kita menaikkan pikiran dan hati kepada Tuhan, dan di dalam iman, kita menerima rahmat yang tak terhingga, yaitu Kristus sendiri di dalam rupa hosti kudus, (lih. KGK 2559, 1373) yang menguduskan kita. Dengan demikian kita mengalami kepenuhan doa sebagai karunia Tuhan. Kita memberi kemuliaan kepada Tuhan, tidak hanya dengan menerima karunia itu, tetapi juga dengan memberikan diri kita kepada Tuhan, dalam arti kita ‘berdoa di dalam Roh’ (Ef 6:18) untuk menghidupkan di dalam batin kita kasih Bapa yang dinyatakan dalam Kristus untuk mendatangkan keselamatan bagi kita (lih. KGK 1073). Dengan Allah sendiri yang hidup di dalam kita, maka kita menjadi sungguh-sungguh ‘hidup’. Inilah yang disebut kemuliaan Tuhan.
Di dalam Ekaristi, kita menjadikan Karya Keselamatan Allah sebagai bagian dari diri kita sendiri, karena kita mempersatukan diri dan dipersatukan dengan Kristus yang menjadi Kurban satu-satunya yang dipersembahkan kepada Allah- yaitu Kurban yang menyelamatkan umat manusia. ((Lih. Redemptor Hominis, (Surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Penyelamat Manusia), 7)) Dengan demikian, liturgi Ekaristi menjadi sumber doa dan tujuan doa kita. Karena itu, Ekaristi dikatakan sebagai puncak kehidupan Gereja, kesempurnaan kehidupan rohani dan arah tujuan dari segala sakramen Gereja (lih. KGK 1374).
Doa menghantar seseorang kepada persatuan dengan Tuhan, sehingga ia dapat memiliki kehendak yang sama dengan kehendak Tuhan. Di dalam persatuan ini, Kristus bersatu dengan tiap-tiap orang, terutama mereka yang menderita. Di dalam Kristus, penderitaan manusia memperoleh arti yang baru yang berarti “melengkapi apa yang kurang dalam penderitaan Kristus” (Kol 1:24). Maksudnya adalah, karena Gereja sebagai Tubuh Kristus terus berkembang di dalam ruang dan waktu, maka penderitaan Kristus yang menyelamatkan juga dapat terus berkembang dan dilengkapi oleh penderitaan manusia. ((Lih. Salfivici Doloris (Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Tentang Arti Kristiani dari Penderitaan Manusia), 24.)) Di dalam penderitaan, manusia diajak untuk beriman lebih dalam, dengan cara mengubah pengertian kita tentang kebahagiaan untuk disesuaikan dengan kebahagiaan menurut pengertian Allah.
Prinsip kebahagiaan adalah: Allah ingin bersatu dengan kita. Jika kitapun demikian, dan menerima hal persatuan dengan Allah sebagai kebahagiaan kita, maka penderitaan atau kesenangan tidak menjadi masalah bagi kita. Sebaliknya, kita dapat menerima penderitaan kita, karena kita mengetahui bahwa di dalam Kristus, hal itu mendatangkan keselamatan bagi kita sendiri, bagi orang lain dan bagi semua orang berdosa secara umum. ((Lih. Jordan Aumann, Spiritual Theology, (New York, USA: Continuum 1980, reprint 2006), chapter 7. “Something is lacking to the passion of Christ, as St. Paul dared to say (Col 1:24) which must be contributed by the members of Christ cooperating in their own redemption… God accepts the suffering offered to Him by a soul in grace for salvation of another soul or for sinners in general.”)) Jadi penderitaan di dunia terjadi untuk mendatangkan kasih, ((Lih. Salfivici Doloris, 29-30.)) dan kasih yang memperbaiki dunia yang penuh dosa adalah keselamatan. Maka penderitaan berhubungan erat dengan keselamatan.
Ekaristi juga mengingatkan kita bahwa tidak ada Keselamatan jika tidak ada Salib; dan di dalam Kristus semua salib kita menyumbangkan arti bagi Keselamatan. Di dalam Ekaristi, kita dipersatukan dengan Kristus dan ikut ambil bagian di dalam penderitaan-Nya agar dapat pula mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya.
Di dalam Ekaristi, Kristus menyatakan pemenuhan janjiNya ketika berkata, “Akulah Roti Hidup yang telah turun dari sorga. Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya… Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman” (Yoh 6:35,51,54,57). Dengan mengambil rupa roti, Yesus membuat Diri-Nya menjadi sangat kecil, meskipun sesungguhnya, bahkan surga-pun tidak cukup untuk memuat DiriNya. Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan menjadi seorang hamba… sama dengan manusia. Dan… sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, dan sampai mati di kayu salib (Flp 2: 5-8).
Di dalam kerendahan hati-Nya, Dia menanggung penghinaan untuk dosa yang tidak pernah Dia lakukan. Sekarang, setelah Dia bangkit dari mati, Dia merendahkan diri secara lebih lagi, dengan mematuhi perkataan para imam-Nya, dan hadir di dalam rupa hosti, agar Dia dapat tinggal bersama kita untuk menghantar kita ke hidup yang kekal. Di dalam Ekaristi, Yesus mengajar kita tentang hal kemiskinan dan kerendahan hati. Dia mengambil rupa roti untuk dipecah dan dibagi-bagi, agar Ia dapat hadir ‘di dalam batas sebuah partikel yang kecil’ ((Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, (Manchester, New Hampshire, USA: Sophia Institute Press, 1960, reprint 2001), p. 31)) – hanya untuk menunjukkan bahwa Dia mau melakukan apa saja, untuk menyatakan betapa Dia mengasihi kita. Yesus yang sempurna merendahkan diri-Nya sampai ke titik ter-rendah, supaya kita yang rendah ini dapat dibawa kepada kesempurnaan Tuhan, dengan mengambil bagian di dalam kehidupan-Nya. Ia menjadi contoh bagi kita, supaya kita-pun mau berkurban untuk orang lain, supaya mereka dapat pula mengambil bagian di dalam kehidupan Allah.
Ekaristi membimbing kita kepada pengetahuan akan Tuhan, sebab di dalamnya kita melihat belas kasihan Allah dan kuasa Allah yang dinyatakan lewat perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus untuk menyelamatkan kita. Pada saat yang sama, kita dipimpin untuk sampai pada pengetahuan akan diri kita sendiri, sebab kita diingatkan akan dosa-dosa kita yang telah menyebabkan Dia wafat di Salib. Sungguh, Ekaristi merupakan contoh sempurna tentang kerendahan hati, yang menjadi dasar dari segala nilai-nilai kebijakan dalam Spiritualitas Kristiani. ((lih. St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae II-II, Q. 161, a.5 ad 2. “…humility is said to be the foundation of the spiritual edifice.” )) (Lihat artikel: Kerendahan Hati: Dasar dan Jalan menuju Kekudusan) Ekaristi menyatakan dua kebenaran kepada kita: bahwa kita ini pendosa, namun sangat dikasihi oleh Tuhan. Dengan demikian, kita dapat belajar untuk dengan rendah hati menerima Dia yang sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi, dan bahwa Ekaristi adalah cara Allah untuk mengasihi kita dan menyelamatkan kita.
Belas kasihan Tuhan yang dinyatakan di dalam Ekaristi membawa pertobatan, yang artinya ‘berbalik dari dosa menuju Tuhan’. Hal ini disebabkan karena kita tidak dapat bersatu dengan Tuhan yang kudus, jika kita tetap tinggal di dalam dosa. Pertobatan yang diikuti oleh pengakuan dosa yang menyeluruh adalah langkah pertama yang harus dibuat jika kita ingin sungguh-sungguh memulai kehidupan rohani. Langkah ini adalah pemurnian dari dosa berat (mortal sin). ((Lih. St Francis de Sales, An Introduction to the Devout Life, (Rockford, Illinois, USA: TAN Books and Publishers, 1994), p.14-15)) Sakramen Ekaristi tidak secara langsung menghapuskan dosa-dosa berat ini, namun Ekaristi secara tidak langsung menyumbangkan pengampunan atas dosa-dosa tersebut. ((Lih. Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, p. 77.)) Selanjutnya melalui Ekaristi, Tuhan memberikan rahmat pada kita agar kita sungguh-sungguh bertobat, ‘membenci’ dosa kita, dan hidup dalam pertobatan yang terus-menerus, sebab Dia membantu kita untuk melepaskan diri dari keterikatan yang tidak sehat kepada dunia, yang menurut Santo Franciskus de Sales adalah ‘segala kecenderungan untuk berbuat dosa’. Di dalam Ekaristi, kita ‘melihat’ penderitaan Kristus, sebagai akibat dari dosa-dosa kita, sehingga kita terdorong untuk menghindari dosa tersebut. Dengan pertobatan ini, selanjutnya kita dapat bertumbuh dengan berakar pada Kristus (lih. KGK 1394).
Di atas segalanya, Ekaristi adalah sakramen Kasih. Ekaristi adalah tanda Kasih, yang disebut oleh Gereja sebagai agape, atau pax (damai). Ekaristi adalah pernyataan kasih Tuhan yang tak terbatas dan yang mengakibatkan dua jenis persatuan, yaitu persatuan dengan Tuhan melalui Kristus dan persatuan dengan sesama di dalam Kristus. Akibat dari persatuan ini adalah kasih yang tulus, yang menurut Santo Thomas adalah persahabatan antara manusia dengan Allah berdasarkan dengan kasih dan komunikasi dua arah, yang termasuk pemberian karunia kebahagiaan Tuhan kepada kita. ((Cf. St Thomas Aquinas, Summa Theology II-II, Q.23,a.1. “…since there is a communication between man and God, inasmuch as He communicates His happiness to us, some kind of friendship must needs be based on this same communication, of which it is written (1 Cor 1:9): “God is faithful: by Whom you are called unto the fellowship of His Son.” The love which is based on this communication is charity: wherefore it is evident that charity is the friendship of man for God.)) Dengan demikian, kebahagiaan Allah menjadi kebahagiaan kita. Hal ini membuat kita dapat melakukan perbuatan baik dengan siap sedia dan hati gembira, karena keinginan dan pikiran kita menjadi seperti keinginan dan pikiran Allah.
Jelaslah, kasih kepada Tuhan mendorong kita untuk mengasihi sesama. Kristus telah memberikan perintah untuk mengasihi sesama sebagai perintah utama dalam kehidupan Kristiani, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi ” (Yoh 13:34-35). Kasih di sini adalah kasih yang ‘memberikan diri’ (self-giving), terutama kepada yang miskin dan menderita, seperti yang diceritakan di dalam perumpamaan Orang Samaria yang baik hati. Di sini, orang yang miskin dan menderita, termasuk adalah mereka yang telah menyakiti hati kita dan mereka yang telah kita sakiti hatinya. Kasih mensyaratkan kita untuk melihat mereka sebagaimana Yesus melihat mereka, dan hanya rahmat Allah yang memungkinkan kita untuk melakukan hal ini. Jadi, Allah yang adalah Kasih, adalah sumber kekuatan bagi kita untuk mengasihi. Ekaristi sebagai sakramen kasih memberikan kepada kita rahmat pengudusan yang memampukan kita untuk bertindak sesuai dengan iman, pengharapan dan kasih; untuk memberikan hidup kita untuk mengasihi Tuhan dan sesama, karena kasih kita kepada Tuhan. ((Lih. 1Yoh 3:16; Yoh 15:13, Lumen Gentium 42, Dokumen Vtikan II, Konstitusi tentang Gereja.)) Jadi kesempurnaan kasih bukanlah semata-mata tergantung dari usaha manusia, tetapi adalah karunia yang diberikan dari Allah. ((Lih. Jordan Aumann, Christian Spirituality in the Catholic Tradition, p. 16))
Akibat dari rahmat Ekaristi adalah ‘perubahan‘. Yesus bukan hanya mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan DarahNya, tetapi Dia melakukan sesuatu yang lebih dashyat lagi: Ia mengubah kita seutuhnya di dalam Dia dan mengisi kita dengan Roh Kudus yang sama yang membuat-Nya hidup. Dia mengubah keinginan kita untuk berbuat dosa menjadi keinginan untuk mengasihi. Dia mengubah kita, yang mempunyai keinginan hidup sendiri-sendiri menjadi keinginan untuk hidup dalam kebersamaan dalam damai. Sungguh, dengan menerima Ekaristi kita menjadi semakin dekat bersatu dengan Kristus (lih. KGK 1396), sehingga kita dapat terus menerus bertanya pada diri sendiri, “Apa yang akan dilakukan oleh Yesus, jika Ia ada di tempatku?” ((Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, p. 102)) Sikap ini akan membawa kita kepada jalan kekudusan, sebab kita terdorong untuk selalu mencari kehendak Tuhan di dalam segala sesuatu dan menyesuaikan diri kita dengan gambaran-Nya. Kita akan berusaha sedapat mungkin untuk mempergunakan segala kemampuan kita untuk memuliakan Tuhan dengan menyediakan diri bagi pelayanan kepada Tuhan dan sesama. ((Lih. Lumen Gentium 40)) Ekaristi mengubah kita ‘dari dalam’ sehingga kita dapat bertumbuh dalam kesempurnaan kasih yang menjadi kesempurnaan hidup rohani. Kepenuhan dan kebahagiaan hidup yang dicita-citakan oleh spiritualitas dicapai melalui pemberian diri kita di dalam Ekaristi, yaitu saat kita, bersama Yesus dan oleh kuasa Roh Kudus, mempersembahkan diri kita kepada Allah Bapa dan mengambil bagian dalam persatuan dengan kehidupan Allah Tritunggal Mahakudus. Di dalam Tuhan inilah kita dikuduskan.
Sungguh luas dan dalamlah makna Ekaristi dalam kehidupan rohani kita. Namun, buah dari penerimaan Ekaristi ini tergantung dari sikap kita. Semakin murni hati kita, semakin berlimpahlah rahmat yang kita terima. Sebab rahmat Tuhan yang berlimpah diberikan kepada kita di dalam Ekaristi, yang memberikan buah- buahnya yaitu: memperkuat persatuan kita dengan Allah (KGK 1391, 1396), meningkatkan dan memperbaharui rahmat Baptisan kita (KGK 1392), memisahkan kita dari dosa (KGK 1393-1395), mempersatukan kita sebagai tubuh Mistik Kristus (KGK 1396-1398). Oleh karena itu, kita harus menerima Ekaristi di dalam keadaan berdamai dengan Allah (tidak sedang dalam dosa berat) dan di dalam iman. Di dalam liturgi Ekaristi, pikiran kita harus bersatu dengan perkataan doa kita, dan kita harus bekerja sama dengan rahmat itu; jika tidak, kita menerimanya dengan sia-sia (lih. 2 Kor 6:1, KGK 1394)
Kita harus memiliki pikiran dan hati seperti Bunda Maria, yang mengambil bagian secara penuh di dalam Misteri Paska Kristus, dengan jawaban ‘YA’ yang total kepada Tuhan. Ia mempersembahkan dirinya seutuhnya kepada Allah- sambil menanggung penderitaan sebagai ibu, yang mencapai puncaknya pada saat ia melihat kesengsaraan dan kematian Anaknya di hadapan matanya sendiri, atas tuduhan dosa yang tidak pernah diperbuat oleh-Nya. Oleh karena itu, Bunda Maria menjadi teladan dalam hal iman, kasih dan persatuan yang sempurna dengan Kristus. ((Lih. Redemptoris Mater, (Surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Bunda Penyelamat), 42)) Dengan menyerahkan segala kehendak bebasnya kepada Allah, Bunda Maria memberikan contoh kepada kita untuk bekerjasama dengan Allah.
Ekaristi adalah, “sakramen kasih, tanda kesatuan, dan ikatan kasih”, sebuah Perjamuan Paska di mana Kristus dikurbankan, untuk mengisi kita dengan rahmat yang menghantar kita kepada kehidupan kekal. ((Lih. Sacrosanctum Concilium, 57)) Sebagai sakramen kasih, Ekaristi menjadi sumber kekuatan bagi kita untuk mencapai kesempurnaan kasih yaitu kekudusan. Sebagai tanda kesatuan, Ekaristi menandai persatuan antara Tuhan dengan semua orang beriman (Gereja), dan melalui Gereja, dengan seluruh dunia. Sebagai ikatan kasih, Ekaristi mengarah pada persekutuan dengan Tuhan dan sesama. Sebagai Perjamuan Paska, Ekaristi menggambarkan tujuan akhir kita di surga. Sungguh, Ekaristi menjadi ‘Surga di Dunia’. Oleh karena itu, Ekaristi menjadi sumber dan puncak Spiritualitas Kristiani.
Kita harus bersatu dengan Kritus di dalam Ekaristi, jika kita ingin bertumbuh di dalam kekudusan untuk menjadi semakin serupa dengan Dia; sebab Ia adalah sumber kekudusan dan guru kesempurnaan. “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya,” kata Yesus, “dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku” (Yoh 15:5,8). Kita harus tinggal di dalam Kristus dan Gereja-Nya, yaitu Tubuh-Nya, supaya kita dapat berbuah, yaitu kekudusan di dalam kesempurnaan kasih, untuk memuliakan Tuhan.
Jadi, kekudusan tidak tergantung dari usaha kita semata-mata, tetapi adalah pemberian Tuhan. Di dalam Ekaristi, Tuhan memberikan kasih dan rahmat pengudusan-Nya kepada kita, yaitu pada saat kita berpartisipasi dengan aktif di dalamnya, dengan mengakui bahwa Ia adalah Tuhan, dan kita membiarkan Ia mengasihi kita dan memberikan rahmat-Nya kepada kita sesuai dengan cara yang dikehendaki-Nya. Sebaliknya, kitapun memberikan segenap diri kita kepada Tuhan. Rahmat pengudusan Tuhan akan mengubah kita menjadi orang yang paling berbahagia, karena dapat memberikan diri kita kepada Tuhan dan sesama. Kita yang lemah dan berdosa dapat diubah Tuhan menjadi kudus, dan dimampukan oleh-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan kasih yang di luar batas pemikiran manusia. Dan di sinilah kemuliaan Tuhan dinyatakan!