TERIMA KASIH TUHAN YESUS MEMBERKATI!
Kutipan Santo-Santo Tentang Rosario Ini Mengungkapkan Kekuatan Supernatural Rosario, Sebagai orang Katolik, mungkin kita menganggap remeh mengenai doa rosario.
Namun, kita perlu belajar dari para santo santa yang mengalami bahwa doa rosario membuat mereka lebih dekat dengan Allah sehinggah tercermin dalam hidup harian mereka. Berikut ini, kutipan-kutipan mereka yang mengungkapkan kekuatan doa yang sederhana itu.
1)"Berikanlah kepadaku sebuah sekutu tentara yang mendoakan rosario, dan Aku akan menaklukkan dunia."-Paus Bl. Pius IX
2) "Rosario adalah "senjata" masa kini."-Santo Padre Pio
3) "Rosario kudus adalah sebuah senjata yang paling ampuh. Gunakanlah itu dengan penuh keyakinan dan kamu akan terkagum-kagum atas hasilnya."-Santa Josemaria Escriva
4) "Doa rosario adalah doa yang paling indah dan yang paling kaya akan rahmat dari semua doa; Doa yang paling tepat menyentuh Hati Bunda Allah...dan jika dikau menghendaki kedamaian menyelimuti rumahmu, doakanlah rosario keluarga."-Paus Santo Pius X
5) "Rosario adalah senjata yang peling ampuh melawan kuasa iblis dan menjaga dirimu dari kuasa dosa...Jika Engkau menghendaki kedamaian di hatimu, di rumahmu, di negaramu, berkumpullah setiap malam untuk berdoa rosario."-Paus Santo Pius X
6)"Betapa indahnya sebuah keluarga mendoakan rosario setiap malam!"-Paus Santo Paulus II
7) "Rosario adalah sebuah harta karun yang paling berharga diinspirasikan oleh Allah."-Santo Louis De Monfort
8) "Pergilah ke Bunda Maria. Cintailah dia! Tak henti-hentinya berdoa rosario. Katakanlah dengan bijak. Katakanlah sebisa mungkin! Jadilah itu sebagai jiwa dari doa. Janganlah pernah lelah akan berdoa, karena hal itu paling penting. Doa mengguncangkan Hati Allah, itu berisikan rahmat-rahmat yang diperlukan!"-Santo Padre Pio
9) "Metode terbesar dari doa adalah berdoa rosario."-Santo Fransiskus de Sales
10)"Rosario adalah cambuk yang membuat setan menderita."-Paus Adrian VII
11) "Jika ada sejuta keluarga yang beroa rosario setiap hari, seluruh dunia akan selamat."-Paus Santo Pius X
12) "Doa rosario merupakan bentuk doa yang luar biasa dan sarana yang paling efektif untuk mencapai hidup kekal. Itu adalah tebusan untuk perbuatan jahat kita, akar dari segala berkat. Tidak ada cara lain yang terbaik untuk berdoa."-Paus Leo XIII
13) "Rosario adalah suatu sekolah untuk belajar kesempurnaan Kristiani."-Paus Santo Yohanes XXIII
Semoga kutipan-kutipan tersebut berguna dalam peziaraan iman kita sebagai umat Katolik terutama selama bulan suci rosario Oktober ini. Salam dan doa.
Sumber:churchpop.com
Secara tradisi, Gereja Katolik mendedikasikan bulan- bulan tertentu untuk devosi tertentu. Bulan Mei yang sering dikaitkan dengan permulaan kehidupan, karena pada bulan Mei di negara- negara empat musim mengalami musim semi atau musim kembang. Maka bulan ini dihubungkan dengan Bunda Maria, yang menjadi Hawa yang Baru. Hawa sendiri artinya adalah ibu dari semua yang hidup, “mother of all the living” (Kej 3:20). Devosi mengkhususkan bulan Mei sebagai bulan Maria diperkenalkan sejak akhir abad ke 13. Namun praktek ini baru menjadi populer di kalangan para Jesuit di Roma pada sekitar tahun 1700-an, dan baru kemudian menyebar ke seluruh Gereja.
Pada tahun 1809, Paus Pius VII ditangkap oleh para serdadu Napoleon, dan dipenjara. Di dalam penjara, Paus memohon dukungan doa Bunda Maria, agar ia dapat dibebaskan dari penjara. Paus berjanji bahwa jika ia dibebaskan, maka ia akan mendedikasikan perayaan untuk menghormati Bunda Maria. Lima tahun kemudian, pada tanggal 24 Mei, Bapa Paus dibebaskan, dan ia dapat kembali ke Roma. Tahun berikutnya ia mengumumkan hari perayaan Bunda Maria, Penolong umat Kristen. Demikianlah devosi kepada Bunda Maria semakin dikenal, dan ketika Paus Pius IX mengumumkan dogma “Immaculate Conception/ Bunda Maria yang dikandung tidak bernoda” pada tahun 1854, devosi bulan Mei sebagai bulan Maria telah dikenal oleh Gereja universal.
Paus Paulus VI dalam surat ensikliknya, the Month of Mary mengatakan, “Bulan Mei adalah bulan di mana devosi umat beriman didedikasikan kepada Bunda Maria yang terberkati,” dan bulan Mei adalah kesempatan untuk “penghormatan iman dan kasih yang diberikan oleh umat Katolik di setiap bagian dunia kepada Sang Ratu Surga. Sepanjang bulan ini, umat Kristen, baik di gereja maupun secara pribadi di rumah, mempersembahkan penghormatan dan doa dengan penuh kasih kepada Maria dari hati mereka. Pada bulan ini, rahmat Tuhan turun atas kita … dalam kelimpahan.” (Paus Paulus VI, the Month of May, 1)
Sedangkan penentuan bulan Oktober sebagai bulan Rosario, berkaitan dengan peristiwa yang terjadi 3 abad sebelumnya, yaitu ketika terjadi pertempuran di Lepanto pada tahun 1571, di mana negara- negara Eropa diserang oleh kerajaan Ottoman yang menyerang agama Kristen. Terdapat ancaman genting saat itu, bahwa agama Kristen akan terancam punah di Eropa. Jumlah pasukan Turki telah melampaui pasukan Kristen di Spanyol, Genoa dan Venesia. Menghadapi ancaman ini, Don Juan (John) dari Austria, komandan armada Katolik, berdoa rosario memohon pertolongan Bunda Maria. Demikian juga, umat Katolik di seluruh Eropa berdoa rosario untuk memohon bantuan Bunda Maria di dalam keadaan yang mendesak ini. Pada tanggal 7 Oktober 1571, Paus Pius V bersama- sama dengan banyak umat beriman berdoa rosario di basilika Santa Maria Maggiore. Sejak subuh sampai petang, doa rosario tidak berhenti didaraskan di Roma untuk mendoakan pertempuran di Lepanto (teluk Korintus). Dalam pertempuran ini pada awalnya tentara Kristen sempat kalah. Tetapi kemudian mereka berhasil membalikkan keadaan hingga akhirnya berhasil menang.. Walaupun nampaknya mustahil, namun pada akhirnya pasukan Katolik menang pada tanggal 7 Oktober. Kemenangan ini memiliki arti penting karena sejak kekalahan Turki di Lepanto, pasukan Turki tidak melanjutkan usaha menguasai Eropa. Kemudian, Paus Pius V menetapkan peringatan Rosario dalam Misa di Vatikan setiap tanggal 7 Oktober. Kemudian penerusnya, Paus Gregorius XIII, menetapkan tanggal 7 Oktober itu sebagai Hari Raya Rosario Suci.
Demikianlah sekilas mengenai mengapa bulan Mei dan Oktober dikhususkan sebagai bulan Maria. Bunda Maria memang terbukti telah menyertai Gereja dan mendoakan kita semua, para murid Kristus, yang telah diberikan oleh Tuhan Yesus menjadi anak- anaknya (lih. Yoh 19:26-27). Bunda Maria turut mengambil bagian dalam karya keselamatan Kristus Putera-Nya, dan bekerjasama dengan-Nya untuk melindungi Gereja-Nya sampai akhir jaman.
Amanat dari Peristiwa Lepanto Battle
Bunda Maria, "terbukti" telah menyertai Gereja dan umat beriman melalui doa Sang Bunda kepada Tuhan Yesus untuk menyertai kita yang berziarah di dunia ini. Tuhan Yesus Kristus telah menyerahkan Bunda Maria, ibuNya yang amat terberkati kepada Santo Yohanes, dan Santo Yohanes menjadi "anak" Sang Bunda (Yoh 19 : 26 - 27 , Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu !" Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.). Tentu pesan Tuhan Yesus ini, yang memberikan ibuNya kepada Santo Yohanes, tidak terbatas kepada Santo Yohanes, tentu juga Tuhan Yesus menyerahkan ibuNya bagi kita semua, untuk mendampingi, menyertai, dan mendoakan kita. Bunda Maria memainkan peranan penting sebagai "agen" karya keselamatan Yesus Kristus.
Sumber: www.katolisitas.org
[Hari Raya St. Perawan Maria diangkat ke Surga: Why 11:19a,12:1-6,10; Mzm 45:10-12,16; 1Kor 15:20-26; Luk 1:39-56]
Di layar TV terpampang gambar seorang gadis kecil yang bertutur, “Ibuku … membuat kincir di bawah air bertenaga bulan…, ibuku membuat kereta api yang bersahabat dengan lingkungan…, ibuku bekerja di XX [nama perusahaan yang di-iklankan].” Ini adalah potret sederhana tentang kebanggaan seorang anak terhadap apa yang telah dicapai oleh ibunya. Ia bangga dan gembira, karena ibunya telah berhasil melaksanakan tugas yang besar di suatu perusahaan yang besar pula. Aku bertanya kepada diriku sendiri, apakah aku- pun mempunyai perasaan semacam itu… Bunda Maria, ibuku, telah diangkat ke Surga! Ia yang telah diberikan Kristus untuk menjadi ibuku, telah melakukan tugasnya yang begitu besar yang dipercayakan Allah kepadanya, dan Allah memberikan penghargaan kepadanya dengan mengangkatnya ke tempat yang termulia. “Alleluia, alleluia… Maria diangkat ke Surga… para malaikat bergembira… Alleluia, alleluia!” demikianlah seruan Bait Pengantar Injil hari Minggu ini. Sungguhkah kita, seperti para malaikat itu, turut bergembira merayakannya pada hari ini?
Bacaan pertama dan kedua Minggu ini menyampaikan sejumlah ayat Kitab Suci yang mendasari ajaran Gereja Katolik bahwa Bunda Maria diangkat ke Surga. Pertama, sebab dalam Kitab Wahyu, Bunda Maria digambarkan sebagai Tabut Perjanjian di bait suci Allah di Surga; sebagai seorang perempuan berselubungkan matahari; yang kemudian melahirkan seorang Anak laki-laki yang menggembalakan semua bangsa. Jika Anak laki-laki ini adalah gambaran Kristus, maka sang perempuan yang melahirkan-Nya adalah Bunda Maria. Kedua, Rasul Paulus mengajarkan bahwa kita yang percaya, setelah kita meninggal akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus, tetapi tiap-tiap orang menurut urutannya. Jika Kristus adalah yang sulung dari orang-orang yang meninggal, maka urutan kedua tentu adalah ibu-Nya, Maria. Sebab Maria adalah anggota Gereja yang pertama, yang hidup mendengarkan dan melaksanakan firman Tuhan dengan sempurna, sehingga rencana Tuhan dapat terlaksana. Oleh ketaatan dan persetujuan Maria-lah, Allah dapat mengutus Kristus Putera-Nya ke dunia.
Maka tak mengerankan jika sejak awal, Gereja telah menghormati Bunda Maria, dan meyakini bahwa ia telah berada di Surga. Di sana, ia turut mendukung pengantaraan Kristus dengan doa-doa syafaatnya. Teks papyrus Mesir di tahun 250-an menjadi saksi bahwa Gereja sejak awal telah memohon dukungan doa Bunda Maria, “Di bawah belas kasihmu kami berlindung, O Bunda Tuhan. Jangan menolak permohonan kami dalam kesesakan, tetapi bebaskanlah kami dari mara bahaya, engkaulah yang suci dan terberkati…” Walau teks ini tidak secara literal mengatakan bahwa Maria diangkat ke Surga, namun yang tertulis di sana mencerminkan iman Gereja akan persatuan yang erat antara dia dengan Kristus di Surga, sehingga Gereja memohon perlindungannya, seperti permintaan seorang anak kepada ibunya. Maka sebenarnya, apa yang dinyatakan Paus Pius XII di tanggal 1 November 1950, bukanlah ajaran baru, sebab Gereja telah sejak dulu meyakininya. Paus hanya merumuskannya, untuk menegaskan iman Gereja tentang bagaimana Bunda Maria bisa berada di Surga: “…dengan otoritas dari Tuhan kita Yesus Kristus, dari Rasul Petrus dan Paulus yang terberkati, dan oleh otoritas kami sendiri, kami mengumumkan, menyatakan dan mendefinisikannya sebagai dogma yang diwahyukan Allah: bahwa Bunda Tuhan yang tak bernoda, Perawan Maria yang tetap perawan, setelah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi” (Munificentissimus Deus, 44).
Jika kita, seperti Rasul Yohanes, melaksanakan kehendak Tuhan Yesus agar menerima Bunda Maria sebagai Bunda kita juga, pantaslah kita turut bergembira merayakan peristiwa pengangkatannya ke Surga. Sebab bukankah kalau ibu kita menerima penghargaan, kitapun pantas bersukacita? Bukankah Rasul Paulus berkata, “ … jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita…”? (1Kor 12:26) Sebagai anggota Tubuh Kristus, mari kita bersukacita, karena Tuhan telah berkenan melakukan perbuatan- perbuatan besar kepada Bunda Maria, Bunda kita! Sebab Tuhan telah menggenapi dalam diri Bunda Maria, janji keselamatan kekal yang dijanjikan-Nya kepada semua orang yang mengimani Dia. Bukankah penggenapan janji Tuhan dalam diri Bunda Maria merupakan sesuatu yang kita nantikan agar terjadi pada diri kita juga? Maka peristiwa Bunda Maria diangkat ke Surga adalah peringatan pengharapan kita akan keselamatan dan kebangkitan badan kita di akhir zaman. Yaitu, jika kita hidup setia dan taat kepada Allah sampai akhir -seperti halnya Bunda Maria- kitapun akan mengalami apa yang dijanjikan Allah itu. Jiwa dan tubuh kita akan diangkat ke Surga, untuk bersatu dengan Tuhan dalam kemuliaan surgawi. Allah akan “mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia… “ (Flp 3:21). Maka, dogma Maria diangkat ke Surga, tubuh dan jiwanya, bukan semata-mata ajaran untuk menghormati Maria, tetapi untuk meneguhkan pengharapan iman kita. Bukankah ini adalah kabar gembira?
sumber katolisitas.org
Bunda Maria disebut sebagai Hawa yang baru, sebab seperti halnya Hawa, Bunda Maria memainkan peran yang penting dalam sejarah keselamatan manusia. Hawa, adalah manusia perempuan pertama yang oleh ketidaktaatannya membawa maut ke dunia, sedangkan Bunda Maria, oleh ketaatannya melahirkan Sang Hidup ke dunia. Perbandingan antara Hawa dengan Bunda Maria sebagai ‘Hawa yang Baru’- tidak berdiri sendiri, melainkan sebagai kesatuan dengan perbandingan antara Adam dengan Kristus yang disebut sebagai ‘Adam yang baru’ (lih. Rom 5:12-21, 1 Kor 15:21). Jadi sama seperti bahwa ada keterlibatan Hawa, sehingga Adam jatuh ke dalam dosa, dan menurunkan dosa asal tersebut kepada semua umat manusia, maka demikian pula, ada keterlibatan Hawa yang baru yaitu Bunda Maria, sehingga Adam yang baru (Kristus) dapat lahir ke dunia untuk menghapus dosa manusia. Maka tepat jika dikatakan bahwa oleh Hawa, umat manusia jatuh dalam dosa, dan karena itu dalam kuasa maut; sedangkan oleh Maria, umat manusia menerima penghapusan dosa, dan karena itu menerima kehidupan kekal.
Hawa, terpedaya oleh bujukan Iblis, sehingga ia tidak taat kepada kehendak Tuhan, sedangkan Bunda Maria percaya oleh pemberitaan Malaikat, sehingga ia taat akan kehendak Tuhan. Maka St. Irenaeus mengatakan bahwa ikatan ketidaktaatan Hawa, yaitu belenggu dosa yang mengikat manusia karena ketidaktaatannya kepada Allah, diuraikan oleh ketaatan Bunda Maria. Harus diakui, bahwa pada awal mula, meskipun Adam juga berdosa, namun dosanya dilakukan setelah Hawa terlebih dahulu jatuh dalam dosa ketidaktaatan kepada kehendak Allah. Oleh karena itu, pada saat penebusan dosa, “obat penawar”nya adalah kondisi lawannya, yaitu diawali dengan ketaatan Maria, sang Hawa yang baru, kepada kehendak Allah (lih. Luk 1: 38) maka Kristus sebagai Adam yang baru dapat datang ke dunia oleh ketaatan-Nya kepada kehendak Allah Bapa (lih. Ibr 10:5-7).
Cara menginterpretasikan Kitab Suci dengan cara tipologis seperti ini, yaitu membandingkan penggambaran Perjanjian Lama dengan penggenapannya di dalam Perjanjian Baru, diajarkan oleh Kristus sendiri. Contohnya adalah Kristus mengatakan bahwa Ia merupakan penggenapan dari tanda Yunus (lih. Luk 11:30); pengorbananNya di kayu salib merupakan penggenapan akan gambaran ular tembaga yang ditinggikan di tiang oleh Musa (Yoh 3:14; Bil 21:8-9); dan penjelasan-Nya kepada kedua murid-Nya di perjalanan ke Emaus tentang penggenapan Kitab Suci Perjanjian Lama di dalam diri-Nya (lih. Luk 24:13-35). Penggenapan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru ini juga diajarkan oleh para murid, seperti Rasul Petrus menghubungkan bahtera Nuh dengan Baptisan (lih. 1 Pet 3:18-22); Rasul Paulus menghubungkan perjamuan Paskah dengan kurban Kristus (lih. 1 Kor 5:7), dan Adam (manusia pertama) dengan Kristus sebagai Adam yang baru (lih. Rom 5:12-21). Maka tak mengherankan bahwa Tradisi Suci para Rasul dan para Bapa Gereja juga mengajarkan bahwa Bunda Maria adalah Hawa yang baru. Dengan demikian, penggambaran rencana keselamatan Allah yang samar-samar dinyatakan di dalam Perjanjian Lama, kemudian digenapi di dalam Perjanjian Baru.
Rom 5:12-21, 1 Kor 15:21: Kristus sebagai Adam yang baru:
Luk 1:38: Ketaatan Maria membuka jalan bagi ketaatan Yesus. Oleh perkataan Maria, “Jadilah padaku menurut perkataanmu.” Kristus masuk ke dunia melakukan kehendak Bapa (lih. Ibr 10:5-7)
St. Yustinus Martir (155): “Ia menjadi manusia melalui Sang Perawan, agar ketidaktaatan yang terjadi dari sang ular dapat dihancurkan dengan cara yang sama seperti pada awalnya. Sebab Hawa, yang adalah seorang perawan dan tidak bernoda, yang percaya pada perkataan sang ular, membawa ketidaktaatan dan maut. Tetapi Perawan Maria menerima dengan iman dan suka cita, ketika Malaikat Gabriel memberitakan Kabar Gembira kepadanya bahwa Roh Kudus Tuhan akan turun atasnya dan kuasa yang Maha Tinggi akan menaungi dia: sehingga Yang Kudus yang dilahirkannya adalah Putera Allah; dan ia menjawab, “Jadilah padaku menurut perkataan-mu.” Dan melaluinya[Maria] Yesus telah lahir…” (St. Justin Martyr, Dialogue with Trypho, 100).
St. Irenaeus (180): “Sesuai dengan rencana ini, Perawan Maria taat, dengan berkata, “Aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu.” Tetapi Hawa tidak taat; sebab ia tidak taat ketika ia masih perawan. Dan bahkan ketika ia, yang memang telah bersuami, namun masih perawan …., yang menjadi tidak taat, menjadi sebab kematian, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi seluruh umat manusia. Juga Maria, yang telah bertunangan, meskipun ia perawan; dengan ketaatan, menjadi sebab keselamatan, baik bagi dirinya maupun seluruh umat manusia…. Juga Lukas, memulai silsilah dari Tuhan Yesus, sampai kembali ke Adam, menunjukkan bahwa hanya Dia [Tuhan Yesus] yang melahirkan mereka kembali ke dalam Injil kehidupan, dan bukan mereka yang melahirkan-Nya. Dan dengan demikian, ikatan ketidaktaatan Hawa telah dilepaskan dengan ketaatan Maria. Sebab apa yang telah diikat kuat oleh perawan Hawa melalui ketidakpercayaannya, telah diuraikan oleh Perawan Maria melalui iman.” (St. Irenaeus, Against Heresy, 3:22)
Tertullian (212): ” Sebab ketika Hawa masih perawan, perangkap kata-kata telah masuk ke dalam telinganya yang membangun kematian. Maka serupa dengan itu, ke dalam jiwa seorang perawan, harus diperkenalkan kata-kata Sabda Allah yang membangun jalinan kehidupan; sehingga apa yang telah dihancurkan oleh jenis kelamin ini dapat, oleh jenis kelamin yang sama, dipulihkan kepada keselamatan. Seperti Hawa telah percaya kepada sang ular, Maria percaya kepada sang Malaikat. Pelanggaran yang terjadi karena seorang telah percaya [kepada sang ular], oleh seorang yang lain dihapuskan karena percaya [kepada malaikat]. (Tertullian, Flesh of Christ, 17)
Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium:
“Atas titah Allah ia[Maria] diberi salam oleh Malaikat pembawa Warta dan disebut “penuh rahmat” (Luk 1:38). Demikianlah Maria Puteri Adam menyetujui sabda ilahi, dan menjadi Bunda Yesus. Dengan sepenuh hati yang tak terhambat oleh dosa mana pun ia memeluk kehendak Allah yang menyelamatkan, dan membaktikan diri seutuhnya sebagai hamba Tuhan kepada pribadi serta karya Putera-Nya, untuk di bawah Dia dan beserta Dia, berkat rahmat Allah yang mahakuasa, mengabdikan diri kepada misteri penebusan. Maka memang tepatlah pandangan para Bapa suci, bahwa Maria tidak secara pasif belaka digunakan oleh Allah, melainkan bekerja sama dengan penyelamatan umat manusia dengan iman serta kepatuhannya yang bebas. Sebab, seperti dikatakan oleh St. Ireneus, “dengan taat Maria menyebabkan keselamatan bagi dirinya maupun bagi segenap umat manusia.” ((Lih. St. Ireneus, Melawan bidaah-bidaah III, 22,4: PG 7,959A; HARVEY 2,123))[178]. Maka tidak sedikitlah para Bapa zaman kuno, yang dalam pewartaan mereka dengan rela hati menyatakan bersama Ireneus: “Ikatan yang disebabkan oleh ketidak-taatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria; apa yang diikat oleh perawan Hawa karena ia tidak percaya, telah dilepaskan oleh perawan Maria karena imannya.” ((St. Ireneus, Ibid., : Harvey 2,124.)) Sambil membandingkannya dengan Hawa, mereka menyebut Maria “bunda mereka yang hidup” ((St. Epifanus, Melawan bidaah, 78,18: PG 42,728CD-729AB)). Sering pula mereka menyatakan: “maut melalui Hawa, hidup melalui Maria.” ((St. Hieronimus, Surat 22,21: PL 22,408. Lih. St. Agustinus, Kotbah 51,2,3: PL 38,335; Kotbah 232,2: kolom 1108. St. Sirilus dari Yerusalem, Katekese 12,15: PG 33,741 AB. St. Yohanes dari Damsyik, Homili 2 pada Hari Raya Meninggalnya St. Perawan Maria, 3: PG 96,728)). (LG 56)
“Sebab dalam iman dan ketaatan ia melahirkan Putera Bapa sendiri di dunia, dan itu tanpa mengenal pria, dalam naungan Roh Kudus, sebagai Hawa yang baru, bukan karena mempercayai ular yang kuno itu, melainkan karena percaya akan utusan Allah, dengan iman yang tak tercemar oleh kebimbangan. Ia telah melahirkan Putera, yang oleh Allah dijadikan yang sulung di antara banyak saudara (Rom 8:29), yakni Umat beriman. Maria bekerja sama dengan cinta kasih keibuannya untuk melahirkan dan mendidik mereka.” (LG 62)
Katekismus Gereja Katolik: 411, 726, 2618, 2853, 129.
KGK 411 Tradisi Kristen melihat dalam teks ini pengumuman tentang “Adam baru” (Bdk. 1 Kor 15:21-22.45) yang oleh “ketaatan-Nya sampai mati di salib” (Flp 2:8) berbuat lebih daripada hanya memulihkan ketidak-taatan Adam (Bdk. Rm 5:19-20). Selanjutnya banyak Bapa Gereja dan pujangga Gereja melihat wanita Yang dinyatakan dalam “protoevangelium” adalah Bunda Kristus, Maria, sebagai “Hawa baru”. Kemenangan yang diperoleh Kristus atas dosa diperuntukkan bagi Maria sebagai yang pertama dan atas cara yang luar biasa: ia dibebaskan secara utuh dari tiap noda dosa asal (Bdk. Pius IX: DS 2803). dan oleh rahmat Allah yang khusus ia tidak melakukan dosa apa pun selama seluruh kehidupan duniawinya (Bdk. Konsili Trente: DS 1573).
KGK 726 Pada akhir perutusan Roh, Maria menjadi “wanita”; Hawa baru, “bunda orang-orang hidup”, bunda “Kristus paripurna ” (Bdk. Yoh 19:25-27). Dalam kedudukan itu ia bersama dengan keduabelasan “sehati bertekun dalam doa” (Kis 1:14), ketika Roh Kudus pada pagi hari Pentekosta menyatakan awal “zaman terakhir” dengan memunculkan Gereja.
KGK 2618 Injil menyatakan kepada kita, bagaimana Maria berdoa dan menjadi perantara dalam iman: di Kana (Bdk. Yoh 2:1-12) ibu Yesus meminta apa yang dibutuhkan untuk perjamuan perkawinan. Perjamuan ini adalah tanda bagi satu perjamuan lain: yakni perjamuan perkawinan Anak Domba, di mana Kristus, atas permohonan Gereja sebagai mempelai-Nya, menyerahkan tubuh dan darah-Nya. Pada saat Perjanjian Baru, Maria didengarkan pada kaki salib. Karena ia adalah wanita, Hawa baru, “ibu semua orang hidup”, yang benar.
KGK 2853 Pada saat Yesus menerima kematian dengan sukarela guna memberikan kehidupan-Nya kepada kita, kemenangan diperoleh atas “penguasa dunia” (Yoh 14:30) satu kali untuk selama-lamanya. Itulah pengadilan atas dunia ini, dan penguasa dunia ini “dilemparkan ke luar” (Yoh 12:31, Bdk. Why 12:11). Ia “memburu wanita itu” (Bdk. Why 12:13-16), tetapi ia tidak berkuasa atasnya; Hawa baru yang “terberkati” oleh Roh Kudus, dibebaskan dari dosa dan dari kebusukan kematian (karena dikandung tanpa noda dosa dan karena sebagai Bunda Allah yang selalu perawan, Maria diangkat ke dalam surga). “Maka marahlah naga itu kepada perempuan itu, lalu pergi memerangi keturunannya yang lain” (Why 12:17). Karena itu Roh dan Gereja berdoa: “Datanglah, ya Tuhan Yesus” (Why 22:20, Bdk. Why 22:17), karena kedatangan-Nya akan membebaskan kita dari yang jahat.
KGK 129 Jadi umat Kristen membaca Perjanjian Lama dalam terang Kristus yang telah wafat dan bangkit. Pembacaan tipologis ini menyingkapkan kekayaan Perjanjian Lama yang tidak terbatas. Tetapi tidak boleh dilupakan, bahwa Perjanjian Lama memiliki nilai wahyu tersendiri yang Tuhan kita sendiri telah nyatakan tentangnya (Bdk. Mrk 12:29-31). Selain itu Perjanjian Baru juga perlu dibaca dalam cahaya Perjanjian Lama. Katekese perdana Kristen selalu menggunakan Perjanjian Lama (Bdk. 1 Kor 5:6- 8; 10:1-11.) Sesuai dengan sebuah semboyan lama Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru: “Novum in Vetere latet et in Novo Vetus patet.” (Agustinus, Hept. 2,73, Bdk. Dei Verbum 16)
sumber katolistas.org
Keperawanan Maria selamanya [Perpetual Virginity of Mary] adalah topik dari katekese Bapa suci di saat Audiensi Umum, Rabu, 28 Agustus 1996. Teks-teks yang paling kuno dan jemaat awal, kata Paus, meneguhkan bahwa Gereja selalu mengakui kepercayaan bahwa Bunda Maria tidak pernah berhenti menjadi perawan.
1. Gereja telah selalu mengakui kepercayaannya akan keperawanan Maria selamanya (perpetual virginity). Teks-teks yang paling kuno, ketika mengacu kepada konsepsi Yesus, menyebut Maria sebagai “perawan”, untuk menyatakan bahwa mereka menganggap keistimewaan ini sebagai fakta permanen/tetap yang menyangkut seluruh hidupnya.
Jemaat Kristen awal menyatakan keyakinan iman ini dalam kata Yunani, aeiparthenos— “tetap perawan”— yang diciptakan untuk menjabarkan pribadi Maria dengan cara yang unik dan efektif dan untuk mengekspresikan dalam satu kata, iman Gereja akan keperawanannya yang tetap selamanya. Kita menemukan istilah ini digunakan dalam pernyataan iman kedua yang disusun oleh St. Epiphanus di tahun 374, dalam hubungan dengan Inkarnasi: Putera Allah “menjelma, yaitu ia dilahirkan dengan cara sempurna oleh Maria, yang tetap Perawan terberkati, melalui Roh Kudus” (Ancoratus, 119,5; DS 44).
Ungkapan “tetap perawan” diambil oleh Konsili kedua Konstantinopel (553), yang menegaskan: Sabda Tuhan, “menjelma dari Bunda Allah yang kudus dan mulia dan tetap Perawan Maria, dilahirkan olehnya” (DS 422). Ajaran ini diteguhkan oleh Konsili Ekumenis lainnya, Konsili ke-empat Lateran (1215) (DS 801) dan Konsili kedua Lyons (1274) (DS 852), dan dengan teks mengenai definisi dogma Maria diangkat ke Surga (1950) (DS 3903) di mana keperawanan Maria yang tetap selamanya dijadikan sebagai salah satu alasan mengapa ia diangkat tubuh dan jiwanya ke kemuliaan surgawi.
2. Dalam rumusan yang ringkas, Gereja secara tradisional menampilkan Maria sebagai “perawan sebelum, pada saat dan setelah melahirkan”, untuk menegaskan, dengan mengindikasikan ketiga tahap ini, bahwa ia tidak pernah berhenti menjadi perawan.
Dari ketiganya, penegasan tentang keperawanannya “sebelum melahirkan” adalah, tak diragukan lagi, yang terpenting, sebab itu mengacu kepada konsepsi Yesus dan secara langsung menyentuh secara khusus, misteri Inkarnasi. Sejak awal, hal ini telah selalu hadir dalam iman Gereja.
Keperawanannya “pada saat dan setelah melahirkan”, meskipun implisit dalam gelar perawan yang telah diberikan kepada Maria sejak masa awal Gereja, menjadi obyek studi ajaran yang mendalam sebab sejumlah orang mulai secara eksplisit meragukannya. Paus St. Hormisdas [450-523] menjelaskan, “Anak Allah menjadi Anak manusia, lahir dalam waktu dengan cara seorang manusia, dengan membuka rahim ibu-Nya untuk lahir [lih. Lk 2:23] dan, melalui kuasa Tuhan, tidak merusak keperawanan ibu-Nya” (DS 368). Ajaran ini diteguhkan oleh Konsili Vatikan II, yang menyatakan bahwa Putera sulung Maria “tidak mengurangi keutuhan keperawanan ibunya, melainkan menyucikannya” (Lumen gentium, 57). Mengenai keperawanannya setelah melahirkan, pertama-tama perlu ditegaskan bahwa tidak ada alasan untuk berpikir bahwa keinginan untuk tetap perawan, yang dinyatakan oleh Maria pada saat menerima Kabar Gembira (Lih. Luk 1:34) kemudian diubah. Lagipula arti langsung dari perkataan: “Ibu, ini anakmu!”, “Ini ibumu” (Yoh 19:26) yang dikatakan Yesus kepada Maria dan kepada murid yang dikasihi-Nya, menunjukkan bahwa Maria tidak mempunyai anak-anak lainnya.
Mereka yang menyangkal keperawanannya setelah melahirkan berpikir mereka telah menemukan argumen yang meyakinkan melalui istilah “sulung”, yang ditujukan kepada Yesus dalam Injil (Luk 2:7), hampir sepertinya kata ini bermaksud mengatakan bahwa Maria melahirkan anak-anak lain setelah Yesus. Tetapi kata “sulung” secara literal berarti “seorang anak yang tidak didahului oleh yang lain”, dan dengan sendirinya tidak mengacu kepada adanya anak-anak lain. Lagipula, sang pengarang Injil menekankan karakter Anak yang satu-satunya ini, sebab kewajiban-kewajiban tertentu sesuai dengan hukum Yahudi dikaitkan dengan kelahiran anak sulung, tidak tergantung dari apakah ibunya akan melahirkan anak-anak lagi atau tidak. Maka setiap anak tunggal [juga] tunduk pada aturan-aturan ini sebab ia “dilahirkan yang pertama” (lih. Luk 2:23).
3. Menurut sejumlah orang, keperawanan Maria setelah melahirkan disangkal oleh teks Injil yang mencatat adanya “saudara-saudara Yesus”: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas (Mat 13:55-56; Mrk 6:3) dan beberapa saudari perempuan.
Harus diingat bahwa tidak ada istilah khusus dalam bahasa Ibrani dan Aram untuk menyatakan kata “sepupu”, dan maka istilah “saudara” dan “saudari”, memiliki arti yang lebih luas yang dapat termasuk beberapa derajat hubungan. Kenyataannya, frasa “saudara-saudara Yesus” mengindikasikan “anak-anak” dari Maria yang adalah murid Yesus (lih.Mat 27:56) dan yang lebih jelas dijabarkan sebagai Maria yang lain (Mat 28:1). “Mereka adalah kerabat dekat Yesus, menurut ekspresi Perjanjian Lama” (KGK 500)
Karena itu, Maria yang tersuci adalah “tetap perawan”. Hak istimewanya adalah konsekuensi dari keibuannya yang ilahi, yang secara total dipersembahkannya kepada misi penyelamatan Kristus.
Diterjemahkan dari:
L’Osservatore Romano
Weekly Edition in English
4 September 1996, page 11
yang tercantum di situs EWTN, http://www.ewtn.com/library/papaldoc/jp2bvm31.htm
L’Osservatore Romano adalah koran dari Tahta Suci.